Nessa POV
Semua yang terjadi memang sudah menjadi skenario hidupku dan aku ngga akan bisa menghindarinya walau sekuat apapun aku berusaha menghindar. Aku mencintainya kemudian aku pergi meninggalkannya. Saat aku merasa tak akan bisa untuk melangkah lagi, aku menemukan diriku diberi kesempatan untuk memiliki seorang anak yang kemudian kembali membawaku dalam sebuah skenario berikutnya yang mengharuskanku membuat sebuah kebohongan pada buah hatiku sendiri. Kemudian, setelah sekian lama aku berhasil menjadikannya sebagai kenangan yang ngga akan bisa kuraih, dia kembali. Membawa kekecewaan yang kuterima dengan lapang dada. Bukan aku yang dia inginkan, melainkan hanya miliknya yang kebetulan ada padaku. Anak yang kami hadirkan bersama. Aku akan memohon padanya untuk membawaku bersama mereka bila saja dia masih seperti dulu. Sendiri, tanpa ada wanita dan gadis kecil itu dalam hidupnya.
Kapan skenario ini akan berakhir? Aku lelah harus terus berusaha terlihat kuat. Tembok yang kubangun perlahan mulai terkikis olehnya. Ibu mana yang tega merusak kebahagiaan yang putranya baru rasakan? Sanggupkah aku memisahkan mereka? Dia jelas adalah ayahnya. Kenyataan yang ngga akan bisa dipungkiri. Vasa dan dia terlalu banyak memiliki kesamaan. Begitu melihat mereka bersama, orang-orang pasti mengira mereka adalah ayah dan anak. Dan itu memang benar.
"Bu, Vasa mau diajak Om Nino ke kebun binatang begitu pulang nanti. Boleh ngga?" pikiranku mulai kemana-mana kalau saja Vasa tidak membuyarkannya.
"Boleh." sejak kehadirannya, Vasa jadi lebih ceria dan bersemangat untuk secepatnya pulang dari rumah sakit. Dia pulih dalam waktu yang lumayan cepat.
"Ibu ikut kan? Vasa mau pergi sama ibu juga Om Nino." benarkah namanya Nino? Dia memenuhi permintaanku untuk jadi orang lain bila di depan Vasa.
"Iya. Nanti ibu juga ikutan sama Vasa dan Om Nino." lidahku terasa asing saat menyebut namanya. Hari itu, ketika dirumah sakit, dia berhasil melihatku hancur didepannya. Hari itu aku benar-benar menumpahkan ketakutanku padanya. Dia bersikap sangat lembut dan berhasil membuatku nyaman walau pada akhirnya aku harus kembali menyakitinya. Aku melakukannya agar tak ada yang lebih tersakiti selain kami berdua saja. Merahasiakan identitasnya pada Vasa adalah yang terbaik bagi kami. Aku ngga mau putraku lebih tersakiti nantinya bila dia mengetahui bahwa mereka ngga akan bisa bersama selamanya. Aku ngga akan membiarkan dia membawa Vasa bersamanya.
Tak bisa kupungkiri bahwa dalam hati kecilku aku menginginkan dia bersama Vasa saat ini, saat dimana Vasa begitu membutuhkan sosok seorang ayah disisinya. Karena itulah aku mengizinkannya ada disini sebagai orang lain."Bu, boleh Vasa memanggil om Nino dengan sebutan Ayah?" bahkan anakku meminta izin untuk memanggil Ayah pada ayahnya sendiri.
Dia memang ayahmu, Nak.. ingin rasanya aku mengatakannya sekarang."Apa kamu akan berhenti mencari ayah bila ibu mengizinkannya?" Vasa mengangguk dengan yakin.
"Om Nino jauh lebih segalanya dari ayah yang ibu ceritakan. Punya om Nino sudah cukup buat Vasa." kubelai rambut Vasa dan menciumnya. Dia memelukku dengan erat dan balas menghujaniku dengan ciumannya. Dia mengerti bahwa aku mengiyakan permintaannya.
***
Tempat ini tidak banyak berubah dari 2 tahun lalu saat aku membawa Vasa pada hari ulang tahunnya yang ketiga. Yang berubah justru kami pada hari ini. Karena bukan hanya berdua, hari ini kami mengunjungi tempat ini bertiga. Seperti layaknya keluarga, seorang ayah, ibu juga seorang putra. Perih memang bila mengingat keadaan seperti ini hanyalah sementara dan bukan keadaan yang sebenarnya. Nggak akan mungkin aku bisa membayar sebuah harga untuk senyum bahagia Vasa hari ini.
"Ini adalah hari terhebat dalam hidup Vasa. Ayah tau itu?" kenapa tangan besar ini terasa begitu hangat dan pas untuk menggenggam tanganku? Kupandangi tanganku yang sejak tadi dia pegang. Dia memegang tanganku seakan takut kami akan terlepas dan berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
Любовные романыAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...