Bab 17

30.5K 1.9K 6
                                    


“Bagaimana kita akan memulai pembangunan resort ini?” tanya Budianto Harsono, pengusaha sukses yang  dengan kekayaan bisa menjamin  keturunannya bisa hidup nyaman sampai anak cucu mereka. Aku berangkat dengan tekad bahwa aku akan menaklukannya hari ini dan berhasil. Dia baru menyetujui kontrak yang kuajukan secara lisan untuk pembangunan penginapan ditempat ini. Aku perlu persetujuannya untuk hal itu karena tempat ini masih separuhnya miliknya. Aku harus bersabar menunggu sampai tempat ini sepenuhnya jadi milikku sebentar lagi. Sementara ini aku harus berpuas diri memilikinya bersama suami istri yang sedang berdiri didepanku ini.
“Kita bisa membicarakannya dikantor Anda nanti. Saya sangat bersedia untuk mampir,” aku berusaha seramah mungkin pada mereka. Dari tadi sebenarnya aku ingin sekali pulang.
“Bawalah dia. Saya merasa perlu mengenalnya lebih baik, kalian bisa membicarakan masalah bisnis di rumah,” pandangan Nyonya Harsono mengarah padanya yang sedang duduk dibawah pohon kelapa sambil memandang laut. Dia mungkin merasa risih dengan pesta ini sehingga memilih untuk menyendiri disana. Aku tak punya pilihan selain mengajaknya ikut serta bersamaku ke pesta yang diadakan oleh keluarga Harsono sore ini. Kesepakatan  bisnis yang kukejar terlalu berharga untuk kusia-siakan.
“Kalian terlihat cocok. Pantas selama ini kamu menyimpan dia dengan baik. Supaya nggak ada yang meliriknya,‘kan?” aku hanya bisa tersenyum dan tersenyum menanggapi mereka. Mana mungkin aku bilang pada mereka bahwa aku membayarnya untuk menemaniku kemari? Aku membayarnya untuk kerjasama ini. Secepatnya aku harus pergi dari hadapan mereka karena akan ada lebih banyak kebohongan lagi yang kubuat bila aku terus ada disini. Bergabung dengannya disana sepertinya bukan pilihan yang buruk.
“Sepertinya sebentar lagi petang. Saya mau mengajaknya berjalan-jalan sebentar disini,” semoga mereka tidak menahanku. Aku serius merasa mati gaya bila mereka membahasnya disini.
“Baiklah, kami tahu kalian mau menikmati keindahan pemandangan disini bersama-sama,‘kan. Mumpung suasananya romantis,” syukurlah.
“Tunjukkan padanya, bahwa disini akan dibangun resort yang bakal jadi tempat bulan madu kalian nanti,” aku harus menyelamatkan diriku sekarang, sebelum omongan mereka makin melantur. Dengan langkah yang besar, aku melangkah pergi dari mereka. Makin cepat, makin baik.
***
Kuakui dia memang cantik. Dibawah langit jingga dan angin laut yang menerbangkan helaian rambut panjangnya, dia terlihat bagai dewi. Kubiarkan diriku terpesona olehnya kali ini. Aku menyadari bahwa dia jauh berbeda dengan Dara, tak seperti yang kulihat waktu pertama bertemu dengannya dulu. Perlahan tapi pasti aku benar-benar melihat perbedaan yang semakin jauh diantara mereka.
“Kamu juga suka laut?” tanyaku padanya yang terlihat sedang memainkan kakinya disapuan air laut.
“Hanya saat aku merasa perlu mencurahkan masalahku,” pandangannya jauh kedepan, persis yang dulu pernah kulihat waktu malam-malam dia berbisik sendirian dijendela kamarku.
“Kalau kamu menyukainya, kita bisa kemari lagi suatu hari nanti,” bibirku tiba-tiba mengucapkannya tanpa kusadari. Apa baru saja aku menjanjikan sesuatu padanya?
“Aku akan menunggu untuk hari itu.”
***
 Tumben orang ini kemari. Apa dia sudah mulai bosan dengan dapur tercintanya itu?
Aku baru selesai meeting waktu menemukan Andra duduk diruang kerjaku. Tumben dia kemari tanpa menghubungiku terlebih dahulu. Pasti ada sesuatu yang penting mau dia bicarakan.
“Dapur lo baru kebakaran?” kuletakkan agenda yang kupegang dengan asal di atas meja dan duduk disampingnya.
“Ngomong apa sih, lo. Gue lewat sini barusan, makanya mampir,” dia tahu aku menyindirnya dan aku tahu sekarang dia bohong.  Mana mungkin cuma lewat.
“Ada yang mau lo ceritain?” raut wajahnya benar-benar terlihat kusut. Pasti ada sesuatu yang mengusiknya. Seorang Andra tidak mungkin sekacau ini bila tak ada sesuatu yang sangat serius terjadi padanya. Dia orang yang selalu bisa bersikap tenang dalam menyikapi setiap masalah.
“Gue tahu lo bisa gue percaya,” dia menyerahkan Iphonenya padaku. Ada foto seseorang disana yang sama sekali tidak pernah kusanga akan berada disana. Foto Tari dalam berbagai sudut dan pose. Darimana dia mendapatkan foto wanita itu sebanyak ini.Menurutku agak janggal bila melihat hal ini karena kami semua tahu hubungan Tari dan Zevan.
“Lo nggak bisa, Dra. Sama aja lo menggali lubang buat diri lo sendiri,” aku lebih bicara pada diriku sendiri sebenarnya. Kasus yang Andra alami ini agak mirip dengan milikku.
“Gue udah nyoba sejauh gue bisa. Gue tetap melihat ke dia, No,” bagaimana mungkin kami menyukai wanita yang punya hubungan dengan sahabat kami sendiri.
“Emang apa gue salah suka dia? Wajar,‘kan. Dia wanita. Dia baik. Dia cantik. Dan gue rasa, gue mulai cinta sama dia.”
“Tapi lo nggak bakal bisa raih dia. Dia cinta mati sama Zevan,” mereka mencintai Zevan, Dra, kita cuma akan berakhir dengan nasib yang sama. Hanya mampu memuja tanpa punya kesempatan untuk memiliki.
“Gue tahu itu. Mereka nggak bakal bisa sama-sama, No. Gue masih bisa menerima hal itu.”
“Maksud lo, lo bakal tetap mencintai dia sendirian. Sementara dia mencintai pria lain?" Andra mengangguk dengan pasti. Aku tidak pernah tahu sahabatku yang satu ini bisa seteguh ini pada pendiriannya.
“Apa dia tega ngebiarin itu? Lo pikir Tari bakal ngebiarin hal ini?”
“Gue bakal tetap berusaha untuk itu,” buat apa dia cerita padaku kalau dia tidak mendengarkan kata-kataku? Tidak akan semudah yang kamu kira untuk mencintai wanita yang salah.
“Zevan?” apa tanggapan Zevan begitu tahu kami menyukai wanitanya?
“Gue belum tahu,” kurasa hal ini yang membuat Andra memutuskan untuk membagi ceritanya padaku.
“Lo bisa bertahan sampai sejauh ini. Bantu gue juga, No. Gue butuh saran lo,” apa maksud permintaannya?
“Gue tahu lo pasti tahu persis apa yang gue rasa sekarang,” aku cuma mampu terdiam mendengar kata-kata Andra barusan.
“Dara,” aku menyimpannya serapat mungkin. Bagaimana Andra bisa tahu? “Gue tahu lo punya perasaan sama Dara. Lo nggak perlu tahu gue bisa lihat dari mana. Bener,‘kan?” aku tidak mungkin berbohong. Perasaanku pada Dara saja ia bisa tahu, apalagi kebohonganku.
“Anggap lo nggak pernah tahu apapun yang gue simpan,” aku percaya dia bisa kupercaya. “Gue hanya berusaha mengalihkan pikiran darinya dan cukup berhasil. Zevan baru akan tahu setelah gue berhasil.”
“Gue nggak heran lo kerja mati-matian, lo sengaja ngalihin pikiran lo ternyata. Berarti, kita hanya harus terus diam?” diam memang yang terbaik untuk saat ini. Mana mungkin aku mengatakan pada Andra bahwa aku mempunyai hal lain selain kerja yang membantuku untuk melupakan Dara.
“Posisi lo jauh lebih sulit dari gue, No, lo pasti merasa kesulitan,” kamu lebih beruntung karena mencintai Tari yang notabene bukan milik Zevan lagi dan masih ada kesempatan bila kamu mampu memperjuangkannya. Aku tahu rasanya mencintai sendirian dan itu menyakitkan.
“Lo harus ekstra kuat untuk melewati jalan panjang didepan lo sekarang.”
***
Kutemukan dia tertidur disofa. Wajahnya merah dan dia berkeringat dingin. Kupegang dahinya dan terasa hangat. Apa dia sakit? Napasnya juga terlihat tidak teratur. Dengan hati-hati kuangkat tubuhnya dan membaringkannya dikasur.
Kusapu keringat dingin yang membasahi leher dan wajahnya, kuletakkan handuk basah untuk mengurangi suhu tubuhnya. Apa dia bekerja sekeras ini sampai kesehatannya menjadi prioritas kesekian dalam hidupnya. Beberapa kali kulihat dia bergerak dengan gelisah dalam tidurnya.
“Berhenti, Arga, lepasin!!” aku mendengar dia mengucapkannya dan mendapati peluh kembali membasahi wajahnya. Napasnya memburu. Apa terjadi sesuatu sebelumnya? Apa pria yang bernama Arga menyakitinya? Sampai tidurpun dia harus gelisah. Aku sama sekali tidak berani meninggalkannya sebelum dia benar-benar tenang dan suhu tubuhnya turun.
Setelah memastikan dia benar-benar tidur tenang, aku pergi kedapur untuk membuatkannya bubur. Dia pasti lapar begitu bangun nanti.
“Kamu sudah bangun?” kulihat dia berusaha untuk bangun. Kuletakkan mangkuk bubur yang kubawa untuknya. Dia harus secepatnya minum obat. Aku bisa melihat mukanya yang menahan sakit.
“Aku bisa makan sendiri,” dengan cepat kutarik tanganku begitu melihatnya berniat mengambil sendok yang kupegang.
“Jangan ngaco kamu. Kepalamu masih pusing,‘kan?” aku tahu kamu dewasa. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Kali ini kamu sakit. Itu pengecualian.
Aku tiba-tiba merasa kasihan padanya. Dia kesepian. Hati kecilku mengatakan itu waktu dia tersenyum seperti mengingat sesuatu. Dia pasti menyimpan banyak masalah dalam hatinya. Aku tahu itu karena dia sangat berusaha terlihat kuat didepanku.
***
Aku hampir menyelesaikan dokumen untuk dikirim kepada investor besok waktu kudengar suara berisik dari atas kasurku. Bukannya aku tadi menyuruhnya tidur?  Dia malah mengaduh waktu kuminta dia tidur.
“Seharusnya kamu tidur. Bukannya melamun,” aku sempat melihat pandangannya menerawang barusan. Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Lebih baik nanti saja kulanjutkan pekerjaanku. Kuakui kehadirannya malam ini menggangguku. Aku tidak bisa mengalihkan perhatianku padanya. Dia harus sembuh besok. Aku membayarnya untuk menemaniku, bukannya sakit begini.
Kutarik tubuhnya yang sudah mulai berkurang demamnya dan memeluknya. Dia bisa berbagi kehangatan tubuhnya denganku dan biar lebih cepat turun demamnya.
“Kerjaan kamu gimana?” kueratkan pelukanku padanya. Dia terlalu memikirkan orang lain. Seharusnya sekarang dia lebih mementingkan kesehatan sekarang. Bukannya mengkhawatirkan pekerjaanku.
“Aku mengganggu pekerjaan kamu, ya?” kamu memang berhasil mengganggu pekerjaanku hari ini. Wajah kesakitan kamu mengusik konsentrasiku.
“Iya,” hanya memeluknya dan memejamkan mataku sendiri. Pekerjaanku masih bisa kulanjutkan besok. Tubuhnya kurus tapi memiliki lekukan yang sesuai dengannya. Sangat pas ketika aku memeluknya seperti ini.
“Boleh aku minta sedikit lebih lama kamu melakukan ini?” Permintaannya berhasil menenggelamkan kembali naluri lelakiku yang baru akan muncul. Malam ini aku memutuskan tidur lebih awal bersamanya. Tiba-tiba aku merasa mengantuk.

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang