Nessa POV
"Kak Nessa ngga suka kamu ikut campur masalah pribadi kakak." dengan geram kuhempas buku harian lamaku yang kutemukan terselip dibalik lemari baju Devi. Benda yang kulihat dia sembunyikan waktu itu.
"Kamu juga udah belajar bohong sekarang." hari itu aku sengaja menjemputnya dirumah Rindy dan hanya menemukan pengurus rumah tangga yang mengatakan bahwa Devi sudah pulang sehari sebelumnya.
"Devi sudah dewasa. Devi ngga mungkin cuma diam aja ngeliat apa yang kakak alamin." apa dia berusaha menemukan pria itu untukku?
"Jangan pernah ngelakuin apapun yang ngga Kak Nessa inginkan."
"Devi tau semua yang Kak Nessa alami melalui ini. Sampai kapan Kakak mau menanggungnya sendirian?" diary itu sudah seharusnya berada dikoper yang belum pernah kusentuh lagi sejak kami pindah kemari tahun lalu.
"Kakak bisa bertahan Devi. Kamu lihat Kakak sekarang, kakak jauh lebih kuat kan?"
"Devi tau Kak Nessa emang yang paling kuat. Tapi didalam, Kakak hancur."
Dia memang benar. Sampai hari ini aku belum bisa melupakan hari itu, saat aku kembali meneteskan air mataku setelah sekian lamanya. Saat ketika aku harus pergi darinya. Pergi dengan membawa perasaan yang teramat menyiksaku.
Aku merindukannya sampai lupa bahwa aku masih bernafas. Aku seperti orang yang kehilangan arah dan memilih menyiksa diriku sendiri sampai tiba saat aku harus menerima sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa telah hadir kehidupan baru yang dia bawa untuk kembali memberiku semangat baru.
"Seharusnya Devi ngga minta Kak Nessa berhenti. Paling ngga dia tau kalo Kakak mencintainya."
"Berhenti nyalahin diri kamu. Kakak bakal lebih hancur karena dia ngga akan pernah membalasnya. Dia punya wanita lain yang lebih berharga." jadi selama ini dia menganggap semua ini salahnya karena dia memintaku berhenti waktu itu. Aku ngga pernah menyalahkan siapapun atas semua yang terjadi. Ini adalah bagian dari cerita hidup yang sudah Tuhan tuliskan untuk kujalani.
"Setidaknya Vasa tau bahwa dia masih punya ayah." Aku memang mengatakan kebohongan pada putraku bahwa ayahnya sudah pergi sebelum dia lahir yang diartikan oleh anak seusianya waktu itu sebagai meninggal dunia.
"Bisa Kak Nessa minta tolong?" Devi mengangguk.
"Biar semua berjalan seperti yang selama ini sudah Kakak bangun." Suaraku mulai bergetar. "Kak Nessa yakin bisa bertahan tanpa dia tahu keberadaan kami. Kamu tahu arti mencintai sendirian? Sangat menyakitkan Devi. Kakak hampir melewati sakit itu sekarang."
"Sedikit lagi sampai Kak Nessa benar-benar bisa melupakan rasa sakit itu. Kakak mohon, bersikaplah seakan kamu ngga pernah tahu tentang hal ini." tambahku saat dia menghambur ke dalam pelukanku.
***
Jaket ini masih kusimpan. Meski aromanya sudah lama sekali menghilang, tapi aku masih merasa seperti dia memelukku setiap aku mengenakannya. Pagi itu aku terpaksa mengambilnya untuk menutup tubuhku saat pulang karena bajuku koyak waktu itu. Aku menemukan kalung dengan liontin infinity didalam sakunya yang kemudian kupakaikan ke Vasa. Kuanggap itu sebagai pengganti kehadirannya untuk bersama putra kami yang belum dia ketahui kehadirannya.
Kupandang laut yang terlihat tenang. Hanya sesekali ombak kecil yang terlihat bergerak dan menyapu kakiku dengan lembut.
"Bagaimana caranya untuk melupakanmu saat aku ngga menginginkan untuk melakukannya?"
"Aku ngga akan pernah bisa benar-benar pergi darimu."
Aku hanya berusaha menahan rasa itu tanpa bisa benar-benar membiarkannya pergi dari hatiku. 5 tahun ini adalah waktu yang terasa sangat lama bagiku. Ada saat ketika aku hampir ngga bisa menahan diriku untuk pergi mencarinya. Vasa sering menangis karena menginginkan seorang ayah bersamanya. Saat itulah aku merasa seperti ibu yang paling jahat karena terus membohonginya. Bila menuruti hati kecilku, seharusnya aku datang padanya dan mengatakan padanya bahwa dia memiliki seorang anak bersamaku. Ego yang masih bisa kutahan sampai hari ini. Aku masih ingat ucapanku malam itu untuk ngga akan mencarinya lagi. Itu artinya, bagaimanapun keadaanku sesudah malam itu nantinya, aku sudah siap dengan kenyataan bahwa aku ngga akan pernah mendapatkan perhatian darinya. Ada begitu banyak pertanyaan bila aku melakukannya. Salah satu diantaranya adalah bagaimana kalo dia menolak putranya seperti dia menolak kehadiranku? Hal itu cuma akan jadi luka bagi Vasa. Aku ngga mau anakku merasakan hal itu. Semakin dia besar, dia akan semakin mengerti bahwa dia bisa tumbuh tanpa seorang ayah disinya. Aku hanya harus bersabar dan menguatkan hatiku untuk hal itu.
***
Wanita yang baru memasuki pintu butik dengan gaya pakaiannya yang sederhana tapi cantik dan pas ditubuhnya ini kukenali sebagai sosok wanita yang ada didalam foto yang dulu pernah kutemukan di apartemen pria itu. Bagaimana mungkin aku melupakan wajah wanita yang dia cintai? Dia datang bersama anak perempuan seusia Vasa. Apa mereka sudah menikah?
Aku berniat keluar dari butik ini secepatnya tapi temanku yang merupakan pemilik butik masih ada didalam untuk mengambilkan pembayaran gaun yang kemarin sudah kusetor padanya.
"Selamat siang mba, pesanan saya kemaren gimana?" sepertinya dia sudah sering kemari karena dia terlihat sangat akrab dengan para pegawai disini.
"Iya dong. Sudah saya siapin dari kemaren," aku mengenali gaun yang diserahkan salah satu pegawai padanya. Itu adalah gaun buatanku.
"Kemaren ngga sempat mampir. Mesti nganterin Hanna buat pertunjukan piano pertamanya sih." gadis kecil yang bersamanya terus memandangiku seakan pernah melihatku sebelumnya.
"Kenalin nih mba, desainer yang bikinin gaun kesukaan mba Dara." aku sama sekali ngga nyangka bakal dikenalkan padanya. Dia mengulurkan tangannya padaku dan tersenyum ramah.
"Wah, beruntung banget sih ketemu sama desainernya langsung. Aku Dara" seingatku dulu Rima menyebut nama Rawnie
"Nessa" kusambut uluran tangannya. "Sebut aja aku penjahit. Belum pantas rasanya disebut desainer,"
"Hanna,kasih salam sama tantenya dong" gadis cilik yang bernama Hanna itu meraih tanganku dan menciumnya. Dia sangat manis dan sopan.
"Kapan-kapan mau dong dibikinin baju samaan sama suami juga Hanna" pinta Dara padaku sambil menyerahkan kartu namanya padaku. "Nanti kalo pas sempet, hubungin aja ya."
"Iya. Nanti dihubungin," jawabku pelan. Mana mungkin aku berani menghubunginya kalo cuma bakal membuatku ketemu pria itu lagi?
Setelah membayar gaun yang dia bawa, Dara pergi meninggalkan butik dengan Hanna yang masih terus memandangku seperti mencoba mengingat dimana kami pernah bertemu sebelumnya.
"Tumben ngga dateng sama papahnya Hanna," ucap pegawai yang tadi melayani Dara pada temannya. Aku pura-pura ngga mendengarkan pembicaraan mereka.
"Iya juga sih. Padahal ngarep buat ngeliat papah ganteng itu kan lo?"
"Ngiri gue sama mereka. Keluarganya keliatan harmonis banget. Kapan ya bisa punya keluarga begitu?" mataku memanas waktu aku memutuskan untuk mengambil uang itu lain hari saja dan pergi secepatnya. Apa aku berencana untuk menemuinya saat dia sudah memiliki keluarga bahagia dan cuma bakal jadi penghancur kebahagiaan mereka?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...