Bab 8

35.5K 2.3K 10
                                    

Semua berjalan baik. Kedua pekerjaanku berjalan dengan baik dan kondisi Putri juga makin hari makin membaik. Tubuhnya terus menunjukkan perkembangan yang positif. Dia sudah kembali ceria seperti Putri yang dulu. Dalam jangka waktu beberapa bulan saja berat badannya turun drastis, membuatnya nampak lebih mungil. Rambut-rambut halus sudah mulai terlihat dikulit kepalanya yag selalu dia tutupi dengan topi rajutan buatannya. Hari ini kami mau mengajaknya jalan-jalan ke taman kota. Pagi-pagi begini udara masih segar dan taman kota lebih banyak pengunjung karena dipagi minggu seperti ini banyak yang jogging sambil mengelilingi taman.
Aku duduk dibangku taman sambil memperhatikan kedua adikku yang sedang asyik berfoto dengan kamera ponsel Devi. Beberapa kali aku tertawa melihat pose-pose lucu Putri yang sedang bergaya didepan kamera. Wajah pucatnya nampak lebih segar dan berseri. Aku sangat bersyukur bisa melihatnya seperti ini.
“Kak Nessa!!! Ayo ikutan kita dong,” aku paling tidak suka difoto sebenarnya. Aku merasa melihat wajah orang lain disetiap foto diriku yang kulihat.
“Sebentar, Putri punya sesuatu buat Kak Nessa.” Putri mengambil sebuah gumpalan dari dalam tasnya yang sedang kupangku. Ternyata sebuah topi rajut persis seperti miliknya, hanya punyaku berwarna merah sedangkan dia warna pink.
“Kok aku nggak dibikinin, sih?” protes Devi waktu Putri memakaikannya untukku.
“Kak Devi nggak cocok pake topi," balas Putri mengejek.
“Dasar kamu ini. Ayo kita foto-foto,” Devi menarik tanganku dan Putri agak ketengah taman. Beberapa kali kami berfoto dengan berbagai gaya sampai tak sedikit menarik perhatian orang yang lewat.
“Kok senyum kamu jelek, sih, Put?” Putri langsung menggerutu mendengar ejekan Devi. Kami kembali ke bangku taman untuk melihat hasil jepretan barusan.
“Kak Devi tuh, kok kalo difoto posenya gitu-gitu mulu?” Putri memperagakan gaya berfoto khas Devi dengan dua jari terancung dan lidah yang sedikit dikeluarkan dari bibirnya membuatku terpingkal melihat kedua adikku yang walau terus beradu mulut tapi mereka sangat saling menyayangi.
“Sudah-sudah. Kak Nessa bosen dengar kalian ledek-ledekan mulu. Kita makan cemilan yuk,” kukeluarkan bekal yang kubawa dari rumah. Aku sengaja menyiapkan risoles dan buah potong untuk mereka. Devi memang paling bersemangat kalo diajak makan, makanya badannya paling gembul diantara aku dan Putri. Adik kecilku justru terlihat tidak bersemangat makan. Dia hanya mengambil sepotong melon dan memakannya dengan pelan.
“Kalo Putri sembuh, Kak Nessa berhenti ‘kan kerja yang satunya itu? Yang bikin Kak Nessa pulang pagi.” pertanyaan Putri menghentikanku dan membuatku terpaku dengan jawaban apa yang seharusnya kuberikan.
“Tentulah. Makanya kamu harus banyak makan biar cepat sembuh. Biar Kak Nessa bisa sama-sama kita lagi.”Apa aku bisa mengakhirinya seandainya Putri sembuh dan pria itu sama sekali belum berniat mengambil miliknya dariku? Aku masih punya hutang yang besar padanya. Lagipula apa aku akan sanggup pergi darinya sementara aku sudah merasa nyaman dengan keberadaanku bersamanya?
“Perut Putri mual tiap ada makanan masuk perut Putri, Kak,” rengek Putri menolak buah yang disodorkan Devi. Kuraih tubuhnya dalam pelukanku dan membenamkan mukaku disana.
“Maafin Kak Nessa, ya, karena nggak bisa terus nemenin Putri. Kalo Putri sembuh, Kakak janji bakal berhenti kerja,” entah keyakinan darimana yang membuat kata-kata itu keluar dari mulutku. Aku harus lebih mementingkan adik-adikku daripada diriku sendiri. Kalaupun aku harus mengingkari kesepakatan yang kulakukan bersama pria itu, aku harus siap.
***
"Kapan kamu bisa nerima ajakanku, Nes?" Arga berhasil mendapatkan aku yang sendirian didalam ruang istirahat. Aku benar-benar merasa tubuhku lelah hari ini. Mungkin aku demam karena dari tadi siang badan dan mataku panas juga kepalaku terasa pusing.
“Aku nggak mau bikin omongan yang enggak-enggak," aku terus berusaha menghindar darinya.
“Cuma sekedar ngobrol, jalan. Kenapa semua itu harus kamu takuti, sih?" protesnya. Ada amarah yang bisa kulihat dari matanya.
“Kamu sudah punya tunangan, Ga. Apa kata mereka kalau lihat aku jalan sama kamu?"
“Kamu takut, bakal dicap wanita murahan karena mengganggu tunangan orang?" aku mengangguk.
“Hubungan kita sudah selesai,‘kan, Ga, sejak kamu memutuskan pergi? Sekarang hubungan kita nggak lebih dari bos dan karyawannya,” kutarik tanganku dari cengkraman Arga.
“Tapi aku masih pingin kamu tetap jadi milikku,” apa yang kamu pikirkan, Ga? Sebelas tahun bukan waktu yang sebentar. Semudah ini kamu bilang masih ingin aku jadi milik kamu?
“Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu,” desisku sinis.
“Apa kamu menolakku sekarang?” sekali lagi kuanggukkan kepalaku.
“Kamu memang angkuh, Nes. Waktu aku pergi 11 tahun yang lalu, sama sekali kamu nggak memohonku utuk tetap tinggal. Bahkan sekedar memintaku berbalik pun kamu tidak,” kali ini aku benar-benar melihat kemarahan dalam mata juga nada suaranya.
“Lihat diri kamu, kamu siapa?”Kenapa dia? Apa kamu membawa latar belakangku sekarang? Apa kamu mau merendahkanku setelah apa yang kamu dengar dari mulutku beberapa saat lalu?
“Aku miskin dan nggak punya apa-apa. Itu ‘kan yang mau kamu ucapin?" dadaku serasa berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat sekarang akibat amarah yang kutahan. Ingin rasanya aku mendaratkan telapak tanganku dipipinya. Dia bukan Arga yang kukenal sekarang. Dulu dia sama sekali tidak pernah memandangku dengan perbedaan diantara kami.
“Kamu pintar ngomong sekarang, ya, coba kita lihat, apa dalam hal lain kamu juga sudah lebih pintar?” tanpa sempat menghindar, dia mendapatkanku. Tangannya kanannya mengunci kedua tanganku dibelakang tubuhku dan tangan kirinya menarik ikatan rambutku hingga wajahku menengadah tepat didepan wajahnya. Samar-samar, aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya. Dia mabuk? Disiang bolong begini?
“Berhenti,Arga, lepasin!” aku berusaha meronta supaya cengkramannya lepas dari tubuhku.
“Aku selalu menunggu untuk kesempatan ini.”Dia membungkam bibirku dengan bibirnya. Hanya sesaat sebelum pintu terbuka dan mereka disana. Carisa, ibunya Arga juga beberapa karyawan lain yang memandang kami dengan kaget.
“Apa yang kalian lakukan?!!” teriak Carisa histeris. Arga langsung melepaskanku dan mengejar Carisa yang sudah lebih dahulu berlari meninggalkan kami dengan air matanya.
“Saya bisa jelaskan,”cuma itu yang sempat kuucapkan sebelum sebuah tamparan mengenai pipiku.
***
Terasa sulit memang saat kita mendapat hukuman atas kesalahan yang tidak kita lakukan. Bukan Vanessa namanya bila tidak bisa menghadapinya. Aku masih bisa menegakkan kepalaku waktu berpamitan dengan teman-teman dibutik. Aku memang tidak membantah waktu ibunya Arga melemparkan selembar foto lamaku bersama Arga. Entah darimana dia mendapatkannya.
“Saya lebih baik menyingkirkan kuman yang hanya akan menjadi penyakit nantinya. Sebelum semuanya terlambat,” dia pasti tahu kejadian ini bukan aku yang menyebabkannya. Dia juga tahu aku bukan tipe wanita seperti itu. Dia hanya berperan sebagai seorang ibu yang tak mau ada masalah dalam kehidupan putranya. Termasuk menyingkirkanku yang dia anggap kuman dalam kehidupan mereka.
Mana mungkin aku bilang pada kedua adikku bahwa aku dipecat hari ini? Aku juga tidak mungkin pulang kerumah jam segini. Kurasa aku ingat satu tempat yang tepat untukku.
Mana mungkin dia sudah ada diapartemennya jam segini? Terbukti dari ruangan sunyi yang nyaman dan tenang. Aku selalu sangat menyukai tempat ini. Yang pertama kulakukan begitu sampai adalah berbaring di sofa yang nyaman. Kepalaku benar-benar terasa berat sekarang. Aku sama sekali tidak mau melanggar peraturan yang sudah ditetapkannya untuk tidak menyentuh apapun dirumah ini tanpa seizinnya. Karena itu, hanya sofalah tempat yang paling tepat untukku.
***
Ada benda hangat yang menempel didahiku waktu aku terbangun dan menemukan aku bukannya berbaring di sofa melainkan kasur. Mataku masih sedikit kabur karena pusing yang masih menyiksa kepalaku. Dia muncul dari balik pintu dengan nampan berisi makanan hangat ditangan.
“Kamu sudah bangun?” dia membantuku bangun dan menahan kepalaku dengan beberapa buah bantal.
“Kamu sudah pulang?” kulihat jam didinding baru menunjukkan pukul 10 malam. Biasanya dia pulang lebih larut.
“Iya. Lebih baik kamu makan dulu, baru minum obat,” dia meniup sesendok bubur hangat dan menyuapkannya untukku. Aku merasa tidak pantas menerimanya. Aku seharusnya hanya menemaninya, bukannya mendapat perhatian begini.
“Aku bisa makan sendiri,” kuraih sendok yang masih dia pegang, dia lebih cepat menariknya dariku.
“Jangan ngaco kamu. Kepalamu masih pusing,‘kan? Mana mungkin kamu makan sendiri. Ini perintah,” aku tidak bisa berkata apa-apa bila dia sudah menyebutkan kata itu.
Dia dengan sabar membantuku makan dan membantuku minum obat. Aku seperti merasa kembali saat masih kecil bersama bunda Ineke yang selalu merawat anak asuhnya dengan sabar jika mereka sakit. Pria ini terlalu telaten untuk ukuran pria single.
“Istirahatlah. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu.”Aku kembali berbaring yang memang sangat kuperlukan. Kulihat dia terlihat sangat serius dengan sesuatu dilaptopnya. Aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku dan lebih memilih memperhatikannya yang seakan berada didunianya sendiri bila sedang kerja begini. Sesekali kulihat dia mengurut-urut pelipisnya memikirkan sesuatu sebelum kembali pada laptopnya.
“Tolong kamu kirimkan kontrak tadi sore...," dia menghubungi seseorang diponselnya yang kukira adalah sekretarisnya. “Iya. Via email. Bisa?”Dia mengangguk sebelum kembali menjawab. “Saya tunggu sekarang. Maaf merepotkan kamu malam-malam begini.”
Saat ini aku memang merasa resah karena harus kembali mencari pekerjaan pengganti dan ingatan kejadian tadi sore masih membekas dikepalaku. Kalau mereka terlambat sedikit memergoki kami, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Arga yang tadi sore bukan Arga yang kukenal. Pengaruh alkohol merusak akal sehatnya, ditambah amarahnya karena penolakanku. Selama kami pacaran dulu dia memang sangat sopan padaku. Tidak ada kontak fisik yang pernah terjadi selain pegangan tangan.
“Aku mau kamu tidur,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Kamu?” seharusnya dia beristirahat, bukannya terus bekerja begini. Kalo dia sakit? Siapa yang akan menjaganya? Hei...sejak kapan aku memperhatikannya. Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran itu yang berujung pada sakit yang semakin menusuk dikepalaku.
“Arrgh...,” rintihku sepelan mungkin sambil berbalik membelakanginya berusaha untuk tidur. Aku harus sembuh besok.
“Seharusnya kamu tidur. Bukannya melamun,” kurasakan kasur melesak dan sebuah lengan kokoh memelukku dari belakang. Aku merasa tenang dalam dekapannya seperti ini.
“Kerjaan kamu gimana?” tanyaku padanya yang makin mengeratkan lengannya dipinggangku.
“Aku hampir menyelesaikannya waktu kamu mengaduh.”
“Aku mengganggu pekerjaan kamu, ya?”
“Iya.”Sepertinya memang ini yang kubutuhkan. Aku merasa menemukan tempat yang lama kurindukan bernama kasih sayang. Aku tak peduli dia melakukan ini karena kasihan atau yang lain. Sejak bertemu dengannya aku hampir kehilangan seluruh harga diriku. Sedikit meminta lebih kali ini mungkin tidak akan berpengaruh padanya.
“Boleh aku minta sedikit lebih lama kamu melakukan ini?” ucapku sebelum benar-benar menutup mataku dan tertidur.
***

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang