Tahun 2011
Vanessa POV
Aku meyakinkan diriku untuk tidak akan menyesali keputusan yang akan kuambil saat ini. Sekeras apapun aku berusaha untuk egois dan mencari jalan lain, tetap wajah kesakitan Putri terbayang dikepalaku. Membuatku sekali lagi harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk mempertahankan satu-satunya harta terakhirku saat ini.
“Kak Nessa mau kemana?” tangan lemah Putri menahanku saat aku mengambil tas yang kuletakkan disamping tempat tidurnya.
“Malam ini Putri jangan nunggu Kak Nessa, ya. Kakak ada kerjaan,Sayang,” kuusap dengan lembut rambutnya yang dalam waktu dekat ini akan mulai merontok.
“Putri mau Kak Nessa temani Putri malam ini, Putri nggak mau Kakak pergi,” ucapnya pelan. Aku sangat menyayanginya. Tapi dia tidak akan bisa menahanku malam ini. Aku benar-benar harus pergi. Kondisinya yang semakin melemah membuatku harus kuat dengan tekadku saat ini.
“Maafin Kakak, Kakak harus pergi, Putri. Kamu ditemani sama Kak Devi, ya,” aku melepaskan jemari Putri dariku dengan hati-hati. Kupanggil Devi yang masih berada di luar kamar yang sedang mengerjakan PRnya, memintanya untuk mengerjakan tugasnya di kamar saja sambil menemani Putri.
“Kakak nggak perlu memaksakan diri buat Putri,” ucap Putri lagi saat kakiku sudah berada diambang pintu, aku berbalik dan tersenyum padanya sambil berucap,
“Kak Nessa janji akan jaga diri Kakak baik-baik.”
***
Hujan mengiringi langkahku saat memasuki pintu salah satu club malam terbesar di kota ini. Silver Moon. Kucari sosok yang sangat kukenal diantara kerumunan orang yang sedang bergoyang di tengah sana dan menemukannya dengan gaun hitam ketat membungkus tubuh sintalnya. Begitu melihatku, dia langsung keluar dari kerumunan dan berjalan mendekat.
“Nessa!!!! Kok baru dateng, sih?” tanyanya dengan suara yang hampir ditelan oleh suara musik keras yang menghentak.
“Iya. Maaf,” aku tak perlu menjelaskan padanya kalau sebelum kemari aku harus menunggu angkutan umum yang di waktu seperti ini sudah mulai jarang.
“Ayo, ikut gue!” dia menarik tanganku dan membawaku keluar. Kami menumpangi taksi menuju ke kawasan apartemen tak jauh dari Silver Moon.
“Aku mau ke toilet sebentar, ya,” pamitku pada Sinta saat dia sedang menanyakan unit mana yang harus kami datangi pada resepsionis sambil berbicara dengan seseorang di ponselnya.Aku mematut diriku di depan kaca. Kulepaskan kacamata yang kukenakan dan memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tasku. Blus putih yang kukenakan sedikit basah oleh hujan tadi. Kusapukan sedikit bedak ke wajahku yang terlihat polos dan pucat. Kuikat rambutku dengan rapi, berusaha memperbaiki sedikit penampilanku. Setelah memastikan sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya, aku bergegas keluar dari toilet kembali menyusul Sinta.
Kami berhenti di depan unit 1506 dan Sinta berbalik untuk menatapku sebelum dia memencet bel yang ada di depan kami.
“Gue tanya sekali lagi, lo serius mau ngelakuin ini?” tanyanya. Ada kesedihan di dalam manik matanya, ini sudah kesekian kalinya dia menanyakannya padaku dan aku selalu menjawabnya dengan yakin.
“Iya. Hanya ini cara tercepat yang kutahu, Sinta,” dia memelukku dengan erat.
“Gue nggak mau lo ngelakuin hal ini. Gue ngerasa sangat jahat, Nes. Seandainya gue tahu cara lain biar lo nggak ngelakuin ini.”
“Ini adalah pilihanku. Aku yang datang ke kamu, jangan merasa bersalah begini.” Kusapu air mata yang mengalir turun dari mata cantiknya dengan telunjukku.
“Lo terlalu berharga untuk pengorbanan sebesar ini.” Kugelengkan kepalaku. Aku tidak pernah menganggap diriku berharga. Seandainya aku berharga, mereka tidak mungkin tega meninggalkanku sendirian di depan panti asuhan malam itu dan membiarkanku tumbuh sendirian tanpa kasih sayang dari mereka. Bukannya aku tak sayang pada satu-satunya harta berharga milikku, tapi aku harus melakukannya. Nyawa Putri jauh lebih berharga bagiku.
“Aku hanya mencoba menyelamatkan apa yang masih bisa kuselamatkan, Sinta. Terima kasih untuk bantuanmu, kamu lebih baik pulang. Aku akan masuk sendiri,” ucapku dengan penuh keyakinan saat memencet bel dan meminta Sinta pergi sekali lagi dengan isyarat lambaian tanganku. Dia memelukku sekali lagi sebelum berbalik pergi dan menghilang dibalik pintu lift.
***
Tadinya kupikir dia seorang pria setengah baya botak dan buncit dengan wajah mesum, ternyata dugaanku salah. Pria yang berdiri didepanku ini umurnya kuperkiran sekitar 27 tahun, tak jauh beda dengan umurku sendiri yang memasuki angka 29 di tahun ini. Dia mempersilakanku masuk ke dalam apartemennya yang sangat rapi.Hampir keseluruhan ruangan ini bernuansa biru muda dan putih. Mengingatkanku pada laut yang selalu kukunjungi saat aku merasa kalut.
Dia duduk di sofa putih sambil memandangku dari atas sampai kebawah, menilai penampilan sederhanaku. Wajahnya dingin. Aku merasa seperti ditelanjangi dengan berdiri dibawah tatapannya begini. Dia melonggarkan dasi yang masih dia pakai sambil mengambil sebilah rokok dan mulai menyalakannya.
“Berapa yang akan Anda bayar untuk keperawanan saya?” walau ada nada getir dalam suaraku, aku masih tetap berusaha menutupinya dengan cara menatapnya tajam. Dia tersenyum tipis, meletakkan rokok yang hampir dihisapnya ke asbak sambil mengeluarkan amplop coklat berisi lembaran uang yang jumlahnya lebih dari cukup. Jumlah itu tetaplah tak akan sebanding dengan apa yang harus kukorbankan saat ini.
“Cukup?” tanyanya sembari berjalan dan mengambil tas kerjanya.
Namun, jumlah inilah yang dapat menolongku “Saya rasa jumlah ini sudah cukup. Apa kita harus memulainya sekarang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...