Nessa POV
Bagaimana aku harus menatap sorot mata Vasa yang membuatku seketika dihantui rasa bersalah? Besok adalah hari ulang tahunnya yang kelima. Sampai sekarang dia belum mengubah permintaannya sebagai hadiah untuk ulang tahunnya.
"Vasa cuma mau ayah ngucapin selamat ulang tahun buat Vasa." maafin ibu Vasa. Ibu udah menolak kedatangan ayah kamu. Ibu ngga mau berpisah dari kamu. Ibu tau, ibu egois karena ngga ngebiarin kamu bertemu dengan ayahmu. Ibu takut dia akan membawa kamu bersamanya.
"Jangan gitu dong sayang. Ibu udah nyiapin pesta buat kamu lho," aku sudah sengaja menyiapkan pesta meriah untuknya supaya dia melupakan keinginannya itu.
Masih belum hilang keterkejutanku melihat pria itu berdiri didepan pintu rumah kami. Dia masih seperti dia yang dulu. Menawan dengan sosoknya yang selalu kurindukan. Aku berusaha menutupi perasaanku yang membuncah dengan menampakkan penolakanku akan kehadirannya. Padahal ingin sekali rasanya aku lari kepelukannya kalau saja tidak mendengar alasan dia datang kemari. Aku ngga peduli bagaimana dia bisa menemukan kami. Aku hanya tahu dia menginginkan Vasa, darah dagingnya. Aku ngga akan membiarkan hal itu terjadi walau lagi-lagi aku harus menyayat hatiku sendiri untuk yang kedua kalinya. Membiarkan perasaanku tersiksa untuk orang tersayangku.
"Vasa ngga mau pesta. Vasa cuma mau ayah."
"Bisa ibu minta tolong? Vasa boleh minta apapun selain hal itu. Ibu ngga mungkin bisa memenuhinya. Maaf sayang," air mataku kembali menggenang ketika melihat Vasa menunduk dan berbalik meninggalkanku tanpa ada kata lagi. Aku pasti sudah menghancurkan hatinya sekali lagi. Maafkan ibumu nak.
Aku harus berbuat apa lagi? Ingin rasanya aku menyerah dan membiarkan Vasa bertemu ayahnya. Tapi ketakutanku akan berpisah dari Vasa terlalu besar. Aku ngga akan membiarkan hal itu terjadi.
Seharunya dia melupakan kami. Bukannya malah berusaha menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Ketulusan yang kulihat dimata hitamnya hari itu yang justru membuat ketakutanku bertambah dua kali lipat. Dia benar-benar menginginkan Vasa bersamanya. Seharusnya dia ngga melakukan ini karena dia sudah punya keluarga sendiri. Akan ada banyak hati yang terluka bila dia melakukan ini.
Sewaktu-waktu dia bisa saja membawanya bersamanya. Aku merasa ingin berteriak bila memikirkan hal itu. Aku benar-benar akan menggila bila kehilangan buah hatiku. Dia adalah milikku yang harus terus kumiliki. Tak akan ada seorangpun yang boleh mengambilnya dariku.
Salahku juga karena selama ini membiarkan Vasa mengagumi sosok ayah yang ngga pernah dia kenal melalui foto dan cerita-ceritaku mengenai dirinya. Setelah membuat Vasa menemukan sosok favoritnya, dengan jahatnya aku malah berbohong mengenai keberadaan sosok itu. Apa yang kupikirkan dulu ketika mulai menceritakan hal itu pada Vasa? Apa karena aku masih sangat mencintainya sampai aku ingin membaginya bersama putra kami? Bukan hanya Vasa yang menjadikan dia sosok favoritnya. Karena aku juga merasakan hal itu hingga sekarang.
***
Vasa menghilang.
Aku dan Devi sedang berada di aula sekolah Vasa waktu salah seorang gurunya datang dan mengatakan bahwa hampir setengah jam Vasa belum kembali dari toilet. Tadinya dia pikir Vasa ingin menyusulku dan Devi ke aula. Ketakutan langsung menguasaiku begitu pencarian kami disekitar sekolah tidak membuahkan hasil. Dia tidak terlihat dimana-mana.
Apa mungkin Vasa menyelinap keluar sekolah? Dia memang sempat mengatakan masih menginginkan kehadiran ayahnya hari ini , dipestanya nanti. Bila ada sesuatu yang terjadi padanya, tak ada orang lain selain diriku sendiri yang pantas disalahkan.
"Maaf pak, bapak pernah lihat anak ini lewat disekitar sini sekitar satu jam yang lalu?" ada seorang bapak tua yang sedang menyapu disekitar sekolah Vasa.
"Aduh, mata bapak sih rada kabur. Maklum sudah tua." dia berusaha melihat foto Vasa diponsel yang kupegang. "Semoga bukan ya Bu, sekitar setengah jam yang lalu didepan ada kecelakaan. Katanya sih ada anak kecil keserempet mobil," tanpa sempat mengucapkan apa-apa, kupacu kakiku untuk berlari kedalam dan mengambil mobil untuk mencari pos polisi terdekat supaya aku bisa memastikan bahwa bukan Vasa yang bapak itu maksud.
***
Harapan tinggal harapan. Mereka membenarkan apa yang bapak itu katakan. Dan disinilah aku sekarang. Terduduk didepan ruang operasi menunggu Vasa yang sedang berjuang didalam sana. Sejak tadi kaki dan tanganku ngga berhenti gemetar. Bagaimana mungkin aku selalai ini, membiarkan Vasa sampai mengalami hal ini. Itu yang terus jadi pertanyaan dalam benakku sejak tadi. Aku bahkan tidak mendengar apa yang barusan suster katakan kalau bukan karena Devi mengguncang-guncang tubuhku untuk membuatku tersadar.
"Kak!!!! Ayo kita cari! Vasa membutuhkannya sekarang!!" apa barusan aku mendengar mereka mengatakan bahwa Vasa membutuhkan pendonor untuk golongan darahnya yang berbeda dengan milikku. Lihat, aku bahkan tidak bisa mendonorkan darah untuk anakku sendiri. Bagaimana mungkin aku dengan sombongnya mengatakan bahwa dia darah dagingku yang hanya aku sendiri yang boleh memilikinya?
Seseorang harus menyadarkanku dari tindakan bodohku ini. Aku terlalu takut dia akan mengambilnya dariku sehingga tanpa kusadari aku mulai menutup hati nuraniku. Bagaimanapun mereka memiliki ikatan yang kuat. Dia ayahnya Vasa, dialah orang yang membawa Vasa hadir kedunia ini.
***
Vasa sudah dipindahkan ke ruang ICU dan masih belum melewati masa kritisnya. Dokter masih terus memantau perkembangannya. Vasa mengalami benturan keras dikepalanya yang mengakibatkan dia kehilangan banyak darah. Ditakutkan adanya cidera yang cukup serius akibat benturan tersebut. Semoga yang hal itu tidak terjadi.
Tangan dan kakiku masih terasa lemas. Kucoba melangkah menuju ruangan yang berada tak jauh dari ruang ICU. Aku harus berterima kasih pada orang yang bersedia kemari untuk memberikan darahnya pada Vasa. Seorang pria masih berbaring di ruangan yang pintunya setengah tertutup itu. Aku berhutang budi pada orang ini. Wajahnya masih tertutup oleh tirai yang dibentang diantara tempat tidur. Dengan tangan yang masih gemetar aku menyingkapnya dan menemukan dia disana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...