Nessa POV
Semua terasa masih seperti mimpi. Semudah itu dia merobohkan pertahananku dengan pengakuannya. Aku akhirnya mengerti alasan mengapa dia menginginkan kami. Karena dia memang menginginkannya, karena dia mencintaiku dan juga Vasa. Aku masih menikmati kerinduanku yang akhirnya bisa kulampiaskan padanya. Aku rindu memeluk tubuh ini, menghirup sebanyak mungkin aroma maskulin tubuhnya.
Saat semuanya sudah jelas seperti ini, mataku benar-benar terbuka akhirnya. Benar yang dia katakan, aku terlalu diam dan memikirkan apapun yang mau kupikirkan sendirian dan akhirnya tersiksa sendiri karenanya. Semua yang sudah terjadi, aku patut untuk mengingatnya karena itu adalah bagian dari perjalanan panjang cinta kami.
"Apa yang kamu pikirin?" tanyanya, masih memelukku sambil membelai punggungku seperti yang sering dia lakukan dulu.
"Hanya sedikit memikirkan rangkaian kejadian yang sudah kujalani sebelum hari ini." aku merasa seperti juara yang akhirnya memenangkan perlombaan dengan banyak rintangan didalamnya.
"Aku juga ngga pernah menyangka bisa melaluinya. Bukan perjuangan yang mudah Nessa."
"Aku bahagia bisa kembali padamu."akhirnya aku bisa mengucapkannya langsung padanya sekarang. Dia pasti merasakan detak jantung yang memacuku.
"Katakan sekali lagi." dia melepas pelukannya dan memegang kedua lenganku dengan erat.
"Aku bahagia kita bisa bersama lagi, Nino." dia kali ini menarikku kembali, bukan untuk memelukku, melainkan untuk mengecup bibirku. Bagaimana mungkin ciumannya masih terasa sama seperti yang terakhir kuingat?
Nino menggunakan bibirnya dengan lembut untuk membelai bibirku. Hangat. Aku membalasnya, melepaskan perasaan yang sudah kutahan selama ini. Aku sangat merindukannya. Aku sangat mencintainya dan aku sangat bahagia dia merasakan hal yang sama.
Dia masih melumat bibirku dan mulai memainkan lidahnya untuk membuka bibirku. Aku menerimanya. Dia semakin bersemangat dan ciumannya semakin panas menguasaiku.
"Kamu tau, ada malam-malam saat aku memikirkan untuk melakukan hal ini lagi padamu?" Nino melepas bibirku darinya. "Dan itu sangat menyiksa." dia kembali dan mulai menciumi wajah juga leherku. Kali ini diselingi belaiannya ditubuhku yang juga menyukai setiap belaian yang dia beri padaku.
"Apa aku boleh melakukannya sekarang?" kuanggukkan kepalaku, masih ingin bibirnya ditubuhku.
"Lakukanlah. Aku milikmu sekarang,"
Dengan mudah dia mengangkat tubuhku dan menggendongku ke kamar.
"Aku selalu ingin melakukan hal ini padamu. Karena terakhir kita melakukannya, terasa menyakitkan." aku tau itu. Aku juga merasakannya waktu itu. Terasa sangat menyakitkan karena aku tau itu adalah pertemuan terakhir kami.
Nino kembali menghujaniku dengan ciumannya. Membelai sekujur tubuhku dengan tangan mahirnya. Kuakui dia memang sangat berpengalaman dalam hal ini.
"Kamu masih secantik dulu." bisiknya ditelingaku saat tangannya mulai menyingkap dress yang kukenakan. Perutku seketika terasa hangat saat tangan besar itu membelai melewatinya, menimbulkan efek luar biasa bagi tubuhku. Dengan mudah dia berhasil meloloskan dress yang masih kukenakan. Matanya beralih menatapku.
"Aku sering memimpikanmu. Dan itu sangat menggangguku." saat ini aku pasti memerah karena matanya menelusuri tubuh polosku sambil dia melepas pakaiannya sendiri. Bagaimana dia membentuk tubuhnya sampai sesempurna ini disela kesibukannya? Tubuhnya besarnya sangat sempurna.
"Kamu ngga akan pergi kan setelah kita melakukannya?" Sekali lagi aku menggeleng.
"Mana mungkin aku meninggalkanmu setelah sulitnya jalan yang harus kita lewati untuk bersama?" sekali lagi dia menciumi wajahku sebelum menghujani seluruh tubuhku dengan ciumannya.
"Vanessa, kamu sangat cantik sayang..." bisiknya pelan.
"Dan jangan bosan kalau aku terus mengatakan bahwa aku mencintaimu."
***
Kejutan bagi Vasa karena aku hari ini menjemputnya bersama Nino. Kami sengaja datang lebih awal sebelum bel tanda pulang sekolahnya berbunyi. Aku rasanya sudah ngga sabar lagi melihat raut bahagianya begitu melihat Nino yang sudah beberapa hari ini ditanyakan kehadirannya. Hari ini Nino sengaja menjemputku untuk menjemput Vasa di sekolah bersamanya. Kemarin, sudah terlalu malam untuk membangunkan Vasa, terpaksa dia pulang hanya dengan sebuah ciuman yang dia tinggalkan dikening Vasa. Dia pasti sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Vasa yang juga sangat merindukannya.
"Itu dia," ketika berbalik ke samping, aku sudah ngga mendapati Nino disana. Rupanya dia sudah lebih dulu menghampiri Vasa yang terlihat melompat-lompat kegirangan karena orang yang dia tunggu akhirnya datang juga.
"Ayah, kok baru datang sih?" aku menunggu mereka dimobil saja. Ada banyak pertanyaan yang ditanyakan oleh Vasa, membuat Nino cuma bisa garuk-garuk kepala. Sampai didalam mobil, Vasa masih juga melanjutkan pertanyaannya.
"Sudah dong Vasa, ayah jadi bingung tuh kamu tanya-tanya terus." tegurku padanya. Vasa meletakkan tasnya di jok belakang dan merangsek maju untuk duduk didepan bersamaku.
"Ibu sudah ngga marah lagi sama Ayah?" kali ini aku yang jadi sasarannya. Tahu dari mana Vasa aku marah pada Nino kemarin? setahuku selama ini aku berusaha terlihat baik-baik saja didepannya.
"Ibu ngga marah kok,"
"Bohong. Ibu ngambek kan sama Ayah karena ninggalin kita?" bukan cuma aku yang terkejut kali ini. Kulihat Nino juga, dia mengisyaratkan tanda tanya yang sama padaku.
"Vasa, ngga seperti itu sayang. Kamu masih belum mengerti masalah orang dewasa. Ibu ngga ngambek kok sama Ayah," aku melirik Nino untuk minta dukungannya. "Benar kan Yah?"
"Iya Vasa. Ayah sama Ibu baik-baik aja. Coba liat nih," diluar dugaan, dia meraih tanganku dan menciumnya, membuat Vasa protes.
"Jangan cium Ibu. Cuma Vasa yang boleh cium Ibu!!" Vasa menarik tanganku dari Nino dan mencium pipiku membuat kami sontak tertawa bersama melihat tingkah lucunya. Aku sama sekali ngga pernah membayangkan kebersamaan ini akan terjadi. Bahagia yang kami rasakan ini adalah buah dari kesabaran atas semua rintangan yang sudah kami hadapi. Tapi ini hanya permulaan, masih ada jalan panjang yang harus kami lewati. Ada sedikit keraguan mengusikku, keraguan yang berusaha kubuang, beberapa pertanyaan yang sempat terlintas di benakku. Pertanyaan itu ngga akan keluar dari bibirku. Aku ngga akan mempertanyakan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Aku ngga akan menanyakan apa dia akan membawaku dalam kehidupannya dengan status miliknya yang sah. Sebuah pernikahan. Aku hanya akan menikmati apa yang ada sekarang. Karena itu sudah jauh lebih dari cukup bagiku.
"Jadi Ayah benar-benar Ayahnya Vasa kan?" Vasa mulai lagi, aku memilih diam dan Nino memilih fokus menyetir.
"Capek juga ternyata kalo main pura-puraan ya Bu," tanganku yang sedang menyisir-nyisir rambut Vasa terhenti. "Kata tante Devi, kalo udah liat Ibu dan Ayah baikan, Vasa boleh bilang sama Ibu kalau Vasa tau kok Ayah ini memang Ayahnya Vasa." jenis kerjasama apalagi ini? Devi? Apa yang dia lakukan? Apa jangan-jangan...
"Aku cuma ikut sedikit." Nino berusaha mengalihkan pandangannya dari mataku. Senyum simpul diwajahnya menjelaskan lebih banyak dari yang diucapkan bibirnya.
"Kalian melakukan permainan apa? Devi!!! Aku nyesel bicara sama dia," rutukku kesal. Apa semua orang tau mengenai yang terjadi pada kami? Seseorang harus menjelaskannya padaku. Dan orang itu memilih bersikap pura-pura polos dan berusaha mengalihkan perhatianku darinya. Kamu ngga akan lolos Nino.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...