Nino POV
Persis sama seperti kutinggalkan beberapa tahun yang lalu. Ruangan ini membawaku untuk terus mengingat dia. Tempat ini praktis kutinggalkan beberapa hari setelah aku menemukan diriku terbangun sendirian dan merasa sangat kesepian sekaligus hampa. Waktu itu aku bertekad untuk melupakannya. Pergi dari tempat ini adalah salah satu caraku untuk menghilangkan dia dari pikiranku. Perasaan ini terlalu sulit untuk aku percayai. Perasaan apa yang kurasakan sebenarnya pada wanita itu? Selama ini dia memang kugunakan untuk menghilangkan Dara dari hatiku, dan tanpa kusadari, bukannya hilang, tempat itu malah berhasil tergantikan olehnya. Hal itulah yang membuatku merasa akal sehatku mulai menghilang, karena aku masih belum bisa menerima bahwa aku mulai mencintainya. Benar-benar sebuah cinta yang berbeda dari yang pernah kurasakan. Entah sejak kapan, yang pasti, aku baru menyadarinya sejak aku mendapatkan dia sudah benar-benar pergi dariku.
Apartemen ini menjadi saksi bisu bahwa aku pernah mengenalnya. Kami pernah bersama disini. Dia pernah ada disisiku. Aku hampir menjual unit yang kumiliki ini kalau saja aku benar-benar ingin dia pergi dari pikiranku. Tapi kubatalkan saat kuingat mungkin saja dia kembali untuk mencariku. Itulah kebodohanku yang pada akhirnya hanya membuahkan kekecewaan karena dia memang menepati janjinya untuk ngga akan mencariku lagi. Kekecewaan demi kekecewaan yang kudapat pada akhirnya terkumpul dan membentuk sebuah keyakinan yang menegaskan padaku bahwa aku ngga akan menemukan dia berdiri disini mengharap kehadiranku lagi untuknya dan berhasil bertahan sampai hari dimana aku bertemu anak itu. Kini aku kembali ketempat ini, sekali lagi berharap dia berada disini untuk menemuiku.
"Berhenti Nino, sebelum kamu sakit sekali lagi" bisikku pada diri sendiri dan berjalan keluar sebelum menemukan secarik kertas dibawah pintu. Kertas bermotif kucing itu beraroma harum. Artinya, pemilik dari kertas ini belum lama meletakkannya disini. Aku bergegas pergi ke bawah untuk mencari informasi orang yang baru mendatangi unitku.
Anggap kamu ngga pernah melihat anak itu
***
Bukan dia. Sosok yang berdiri dan menyelipkan kertas ini disana bukan dia. Aku bisa langsung tau begitu melihat sosok yang terekam CCTV pihak keamanan apartemen. Wanita itu mengenakan jaket hitam dan mengenakan topi. Dia pasti tau apartemen ini dilengkapi CCTV disetiap sudutnya. Dengan kesal kurenggut rambutku, tadinya aku pikir aku punya harapan untuk menemukannya. Satpam bilang ada seorang wanita berkacamata yang berpapasan dengannya di lift menuju lantai 15. Wanita itu memang seperti yang terlihat di CCTV. Bukankah dia juga memakai kacamata? Seharusnya wanita itu benar dia walau aku sama sekali ngga mengerti alasan dia melakukan ini.
"Apa?!!!" disaat seperti ini kenapa orang ini harus menelpon sih? dia pasti mau merepotkanku lagi.
"Jemput gue No, gue nebeng kekantor!!" setahuku cuma Zevan yang phobia nyetir. Sejak kapan Alan juga ngga bisa nyetir?
"Gue ngga bisa. Naik taksi aja kenapa sih?"sebenarnya orang ini lagi ada dimana sih?
"Jemput gue Nino. Tolooong..." aku punya tiga sahabat. Dan ketiganya menyusahkan.
"Dimana lo sekarang?" dan aku selalu tak bisa menolak permintaan mereka.
***
Sejak kapan tempat tongkrongan Alan di perpustakaan begini? Aku tau dia memiliki otak cerdas, tapi sejak kuliah sampai sekarang, dia paling anti ke perpustakaan. Kulihat dia sedang duduk sambil memegangi rambutnya yang terlihat acak-acakan. Disebelahnya berdiri seorang cewek yang pernah beberapa kali kulihat bersama Alan. Apa mereka sekarang mulai pacaran? Sudah lama aku ngga melihatnya. Setahuku Alan ngga akan mungkin mengencani anak seumuran dia. Cewek itu terlihat menangis sambil menginjak sepatu Alan dengan keras.
Kuputuskan untuk berhenti didepan mereka dan membuka kaca jendela mobil waktu melihat cewek itu mulai dengan brutal memukul-mukul lengan Alan yang masih tetap diam tanpa mau memandangnya.
Alan mengangkat mukanya waktu menyadari kehadiranku dan menangkap tangan cewek itu sebelum menyeretnya menuju mobilku dan mendudukannya dikursi penumpang disebelahku. Sekarang aku bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Bukannya dia minta aku untuk menjemputnya tadi? Kenapa malah cewek ini yang duduk disampingku.
"Tolong anterin dia pulang. Gue mohon No," Alan menyerahkan sebuah alamat padaku.
"Bohong aja terus, dan lo bakalan nyesel!!" ucap cewek yang kini ada disebelahku saat aku menutup kaca kembali. Entah Alan sempat mendengar ucapannya atau nggak.
Namanya Rindy. Alan pernah terpaksa mengenalkannya pada kami waktu memergoki mereka jalan berdua di sebuah toko buku. Dia terlihat seperti adik bagi Alan. Kami sendiri ngga tahu bagaimana jelasnya hubungan mereka. Alan berusaha menghindar, dan cewek ini terus menempel padanya.
Kulihat dia menangis lagi, kuulurkan kotak tisu padanya.
"Nyetir aja. Ngga usah sok perhatian sama gue." ucapnya sewot. Anak ini kenapa sih? Galak. Pantesan Alan kabur dari dia.
"Jangan geer. Gue ngga mau lo ngotorin jok mobil gue sama ingus lo." jawabku santai. Sebenarnya aku penasaran juga sih sama hubungan mereka sebenarnya. Alan ngga pernah cerita secara mendetail hubungannya dengan cewek ini.
"Bilangin sama temen lo itu, dia ngga perlu nyariin gue kalo dia ngerasa nyesel nanti." ucapnya lagi. Kualihkan pandanganku dari jalan dan memandangnya. Dia serius dengan ucapannya itu. Air mata yang dia keluarkan benar-benar bukti dari sakit yang dia rasakan.
"Lo bilang sendiri sama dia." aku ngga mau jadi perantara mereka. Dia pikir aku ngga punya urusan selain ngurusin mereka?
"Dia harus ngerasain sepinya hidup dia tanpa gue." cewek ini benar-benar merasa dirinya berharga bagi Alan ternyata. "Cinta itu kadang baru kita sadari kalo kita udah kehilangan"
Kali ini aku yang merasa seperti dia membicarakan diriku. Cinta memang baru disadari sesudah kita merasa kehilangannya. Itulah penyesalan yang kini kurasakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...