Chapter 4

4.7K 437 11
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?"

(QS. Al-Baqarah (2) : 44)

🌷🌷🌷

.
.









'Pondok Pesantren Nurul Alaf'

Aku melewati gerbang kokoh bertuliskan 'Ponpes Nurul Alaf' yang merupakan ponpes milik Abi Adam. Alaf, ya itu merupakan singkatan namaku dan Bang Anan. Alya dan Afnan, miris melihatnya. Padahal aku bukan siapa-siapa di keluarga mereka, tapi sebegitu sayangnya mereka kepadaku. Sampai menamai ponpes milik abi menggunakan namaku dan Bang Anan, tapi apa yang aku berikan? Hanya melanggar semua perintah mereka dan perintah-Nya? Ntah lah, hatiku sudah terlalu sakit.

Aku pernah mondok disini, dari mulai MTS sampai MA. Hingga memutuskan untuk kuliah di Yogya. Mencoba menjauh dari keluarga Abrisam dan pergi dari kehidupan mereka untuk selamanya. Tapi apa? Takdir-Nya sungguh tak terduga. Sampai dipertemukan dengan Bang Anan dan memutuskan untuk kembali ke keluarga yang begitu luar biasa menyayangiku. Bilanglah aku bodoh, mengapa tidak langsung pergi saja saat Bang Anan mengajakku kembali? Tapi dalam hati terdalam, sungguh aku masih sangat menyayangi Umi Aisyah.

"Yuk," ajak Bang Anan, dia mendahului langkahku. Aku berjalan tepat dibelakangnya.

"Eh, itu Ning Khansa kan? Anak Ustadz Adam dan Ustadzah Aisyah? Kok berubah gitu ya? Padahal dulu sholeha banget," ujar santriwati yang melintas disampingku. Bukan waktunya untuk meladeni mereka, segera aku mempercepat langkah. Semua penduduk pondok mengenalku Khansa, hanya keluarga Abrisam yang memanggilku Alya.

"Gak pantes banget ya jadi ning kalau syariat Allah saja dia langgar? Itu Gus Afnan kok gak marah ya lihat adiknya begitu? Gak cocok banget jadi panutan!" sahut temannya lagi, jika tidak ada Bang Anan aku sangat ingin mengoyak mulut mereka berdua.

"Iya, bener. Gak pantes!"

"Eh iya. Denger-denger Khansa cuma anak angkat ya?" tanya santriwati berkerudung hitam.

"Iya, bener banget. Oh pantes aja kelakuannya begitu, cuma anak angkat!"

Mataku memanas, menahan butiran air yang sebentar lagi akan jatuh. Aku paling tidak bisa jika ada yang membahas tentang asal-usulku.

Bang Anan menoleh ke arah mereka berdua, rahangnya menegas, matanya memerah, seperti memendam amarah. "Jaga bicara kalian! Kalian berdua, setelah ini temui saya di ruang konseling!" aku melongo dibuatnya, hal ini yang paling aku sukai dari sosoknya. Benteng pertahananku roboh seketika, butiran air yang kutahan sedari tadi luruh membanjiri durja. Dari dulu Bang Anan lah yang selalu melindungi disaat aku diejek seperti ini, dia sosok pahlawan bagiku. Itu sebabnya, hatiku jatuh padanya.

Bang Anan mempercepat langkahnya, aku mengikuti. "Sudah, jangan dengarkan kata mereka. Aya tetap menjadi sosok anak yang baik dan sholeha bagi abi dan umi."

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang