Chapter 9

3.2K 376 5
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."

(QS. Al Insan (24) : 30 )

🌷🌷🌷

.










Dua minggu semenjak kejadian itu, aku tidak ke mana-mana. Bahkan hanya untuk sekadar menemui umi, hatiku sudah terlanjur perih dengan sikap Bang Anan. Sebegitu bencinya kah dia denganku?

Sepertinya aku tidak ada gunanya lagi  berada di sini, surat itu juga sudah hilang atau ada pada Yana lagi. Lantas, mengapa aku masih di sini? Umi juga sudah tidak pernah menanyakan tentang aku lagi, aku harus segera pergi dari sini. Tapi, ini sudah malam. Mungkin besok aku akan kabur.

"Ning?" panggil Yana, aku yang ingin berbaring lantas berbalik melihat sosok yang memanggilku.

"Apa?"

"Kemarin Ustadz Danu kasih tugas, ning sudah selesai?" tugas? Dari Bapak dokter gila dedemit itu maksudnya? Perasaan kemarin setelah marah-marah, dia tidak ada memberikan tugas.

"Ustadz Danu memberikan tugasnya pada Putri, kebetulan dia ketua kelas," lanjutnya.

Aku hanya ber 'oh' ria.

"Sudah?"

"Belum,"

"Cepat kerjakan ning. Bisa bahaya kalau ada yang tidak mengerjakan. Bisa habis nanti,"

"Peduli gue?" tanyaku menantang. Lagian aku gak peduli mau dia marah atau menghukumku, aku tidak takut sama sekali! Toh, dia manusia dan aku juga manusia.

"Terserah ning saja, intinya saya sudah mengingatkan."

Emang dia presiden yang perintahnya harus diselesaikan? Dia hanya lelaki aneh yang merangkap menjadi dokter, guru, reporter, dan dedemit sekaligus. Mendengar namanya saja sudah membuat bulu kudukku meremang, untungnya besok aku kabur, jadi tidak akan melihat rupanya lagi. Jangan sampai aku melihatnya yang ketiga kali! Bisa kena sial nanti!

Aku berbalik hendak tidur, agar besok bisa bangun pagi sebelum santriwati lainnya terbangun.

"Ning?" panggilnya lagi.

"Apa lagi?! Lo gak bisa ya lihat gue tenang?!"

"Benar ning yang mengambil surat ini?" tanya Yana lagi sembari memperlihatkan surat yang kucuri waktu itu.

Aku terbangun lalu duduk di bibir kasur. Tentunya terkejut.

"Kalau iya kenapa? Lo mau marah?" tanyaku sarkas. Aku yang salah, aku yang marah. Dasar aku!

"Sudah sempat ning baca?" tanya dia lagi, nadanya seperti... takut. Aku jadi penasaran dengan surat itu.

"Belum, itu teman lo yang udah nyuri surat itu dari gue!" kesalku, nyuri? Tidak salah? Bukankah aku di sini yang mencuri?

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang