Chapter 23

3.2K 383 16
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

"Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi."

(HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

🌷🌷🌷


















.

.



Memang terkadang seringkali kehidupan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan harapan. Dunia seakan ingin bercanda dengan diri sampai bahkan diri seolah dibuat mainan yang tidak memiliki perasaan. Padahal nyatanya? Jiwa seakan tergoncang dengan mainan dunia itu. Seperti yang kurasakan saat ini, menikah dengan seseorang yang tidak pernah kuharapkan sebelumnya. Bukan, bukan dia yang kuinginkan menjadi imam masa depanku, bukan dia.

Tapi, aku yakin. Semua kehendak-Nya, pasti yang terbaik untukku, dan saat ini yang harus kulakukan adalah menerima dengan lapang dada dan tersenyum. Aku yakin dengan buku karya RA. Kartini yang berjudul, habis gelap terbitlah terang. Dan pastinya akan ada kebahagiaan setelah berbagai masalah datang. Ya, aku sangat yakin akan hal itu.

Setelah resepsi yang membuat badan seakan digiling oleh penggiling ayam, kini aku sudah bisa bernafas lega dan tentunya air hangat yang kupakai untuk mandi tadi sudah cukup membuat badan ini terasa lebih segar. Malam ini kami bermalam di hotel tepat di samping gedung resepsi tadi, ini sudah hampir jam setengah dua belas tapi Dokter Dhanu belum juga kesini. Eh, kesini? Gak salah? Apa malam ini aku akan tidur bersamanya? Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku naik.

Klek

Oke, jantung. Bisa biasa aja gak berdegupnya? Jangan bikin aku seolah lagi maraton dua kilo meter.

Mengapa aku baru sadar kalau ternyata Dokter Dhanu sangat begitu sangat tampan? Baju koko dengan sarung dan juga rambut klimisnya sebelum pakai peci, kalau setiap hari melihat pemandangan seperti ini, bisa-bisa kena diabetes.

"Dokter mau shalat apa? Bukannya tadi sudah shalat isya?" tanyaku ketika melihat Dokter Dhanu membentang sajadah, penampilannya juga seperti memang mau shalat.

"Ini bukan di rumah sakit, jadi jangan panggil saya dengan sebutan 'dokter'," koreksinya dengan menekan kata 'dokter'.

"Maaf, Pak."

"Ini bukan pesantren!"

"Maaf, Alya masih butuh waktu."

Kudengar dia menghela napas panjang. "Segeralah bersiap, kita shalat sunnah dua rakaat," titahnya.

Oke, mulai saat ini aku akan berubah. Tidak akan mengumpatinya lagi dan tidak akan memberinya julukan dokter gila, dedemit, monster, apalagi burung pemakan bangkai. Aku ingin taubat, Tuhan. Jangan sampai karena julukan itu menjadi sebab terhalangnya aku masuk surga.

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang