Chapter 26

3.1K 334 5
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Aku mengatakan: beristighfarlah kepada Rabb kalian, karena ia Maha Pengampun. Ia akan mengirimkan hujan yang melimpah melalui langit kepada kalian. Dan Ia akan memberikan harta serta anak-anak kepada kalian, serta menumbuhkan kebun-kebun kalian dan mengalirkan sungai-sungai kalian.”

(QS. Nuh (71) : 10-12)

🌷🌷🌷







.

.











Sinar mentari masuk dari sela-sela jendela membuat mataku mengerjap berulang kali, berusaha menyesuaikan cahaya yang begitu menyilaukan mata. Kulirik jam yang bertengger di atas nakas, pukul tujuh pagi. Sengaja bangun terlambat karena memang hari ini aku lagi mamnu'.

Segera kubangkit dari kasur dan bergegas mandi, sekitar dua puluh menit selesai dan aku turun ke bawah.

Dokter Dhanu kemana? Tumben tidak membangunkan.

Aku mencari keberadaan orang di rumah ini, tapi tak kujumpai seorangpun. Akhirnya aku memutuskan untuk ke taman pesantren, di sinilah tempatku menenangkan diri. Karena ada kolam ikan yang mengalir, bunga anggrek, mawar, matahari, dan bunga lainnya. Pohon beringin juga tumbuh di tengah-tengah memberikan kesan asri nan sejuk. Di sudut taman juga ada pendopo. Tempat ini sengaja dibuat umi untuk santri yang ingin menghafal, baik itu menghafal Quran, Hadits atau kitab.

Langkahku terhenti kala melihat satu santriwati tengah muroja'ah hafalan Qurannya, kuputuskan untuk duduk di sampingnya.

"Eh, Ning Khansa? Asiif, kunt 'aqatika? Tshuma 'aqul wadaiaan," ucapnya tak enak sambil melangkah ingin pergi. --Maaf, saya mengganggu ya? kalau begitu saya pamit.

"La, la tadzhab. Yujib 'an 'akun asiif li'iiz'ajik," jawabku yang justru meminta maaf. --Tidak, jangan pergi. saya yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggu kamu.

"Mumkin natakallam lilahza?" pintaku, dia duduk kembali sebelum akhirnya mengangguk. --Boleh kita bicara sebentar?

"Lakin 'alaa yukhjil Ning min altahadusth ma'i? Ana mujrad tullab aa'di," ucapnya takut dan ragu, aku menggeleng tegas. --Tapi apakah Ning tidak malu jika bicara dengan saya? Saya hanya santriwati biasa.

"Ana mitshluk tamaman, la farq. Killahuma yakul al'arzun, lidzalik la tukhjil 'aw tukhjil," tuturku memperingatkan. --Saya sama seperti kamu, tidak ada bedanya. sama-sama makan nasi, jadi jangan merasa segan atau malu.

Ini yang membuatku malas jika bicara dengan santri, mereka pasti akan menganggapku seseorang yang harus luar biasa dihormati, disegani, sehingga mereka akan berusaha menjahuiku jika diajak bicara. Padahal 'kan kami sama. So, stop thinking of me more.

"Asiif, Ning."

"Hal yumkinuna altahaduth billughat al'iindunisiat faqat?" tanyaku. --Bisa kita bicara bahasa Indonesia saja?

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang