Chapter 3

5.4K 505 24
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
___

اِنَّا خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّطۡفَةٍ اَمۡشَاجٍۖ نَّبۡتَلِيۡهِ فَجَعَلۡنٰهُ
سَمِيۡعًۢا بَصِيۡرًا

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat."

(QS. Al-Insan (76) : 2)

🌷🌷🌷













Aldebaran Dhanurendra Albert.

Mata coklat itu... mengapa tidak asing bagiku? Alisnya, kantung matanya, dan semua bagian wajahnya. Seperti pernah melihatnya. Ah tapi tidak mungkin! Aku saja baru bertemu dengannya hari ini. Bagaimana bisa langsung mengenalnya.

"Mau kemana?" tanyanya lagi.

Aku tersentak kaget. "Eh, mau ke- kamar man-di. Ya, kamar mandi," jawabku buncah seraya menarik langkah melanjutkan perjalanan dan membelakangi 'Bapak menyebalkan' itu.

Sial! Kenapa aku harus ketahuan lagi.

"Kamar mandi arah sana," katanya sembari menujunjukkan lorong kanan dan nampak jelas bertuliskan 'Toilet'.

Bodoh! Kamu bodoh, Aya!

"Eh, i-tu mau ke-" aku memutar otak untuk mencari alibi. "Kan-tin. Ya, kantin," elakku lagi, semoga setelah ini bisa lolos.

"Kantin disana, kamu tidak bisa baca?" tanya bapak menyebalkan itu. Lorong kiri sangat jelas sekali tulisan 'Kantin'. Lagi dan lagi aku tak bisa berbohong.

"Ya bisa lah!"

"Terus kenapa tulisan sebesar itu tidak kamu lihat?"

"Mata mata siapa? Terserah saya mau lihat apa!" gertakku. Yang salah siapa, yang nyolot siapa.

"Mata dipergunakan untuk melihat, dan saat ini kamu tidak mempergunakannya untuk melihat."

"Terserah saya! Saya yang memiliki kuasa penuh atas mata saya!"

"Tanpa adanya mata, kamu tidak bisa melihat," sanggahnya.

"Yang bilang saya tidak punya mata siapa?!"

"Saya tidak ada mengatakan kalau kamu tidak punya mata, saya hanya mengatakan tanpa adanya mata, kamu tidak bisa melihat. Bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau saya mengatakan kamu tidak memiliki mata?" tanya 'pria gila' itu. Aku naik pitam dibuatnya, jika ini bukan tempat umum, aku ingin menjambak dan mengoyak mulutnya itu.

"Anda- argggh!" aku menjambak rambut frustasi dan habis kesabaran menghadapi 'pria gila' ini. Hanya gara-gara mata, urusan bisa sepanjang ini.

"Hindarilah debat walau anda benar! Tidak usah banyak alasan. Ikut saya," ajaknya, tangan kokohnya dengan tegas menarik ujung hoodieku. Sama persis seperti yang dilakukan Bang Anan tadi. Tidak langsung.

Hindarilah debat? Padahal sedari tadi dia yang mengajakku debat. Jika saja dia mengizinkanku untuk pergi tanpa menghalangi, sudah dipastikan tidak akan ada debat, dan tentunya tidak akan ada emosi. Dasar pria gila!

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang