Chapter 14

3.1K 365 8
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

(QS. Al Insyirah (94) : 5)

🌷🌷🌷








.

Dari atas aku melihat sinar mentari pagi yang malu-malu menampakkan sinarnya, terbukti dari cahaya yang masih enggan memunculkan diri. Sepertinya duduk termenung di meja belajar sambil memandangi orang berlalu lalang menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan. Ntahlah, menghirup udara segar sembari melihat orang berjualan membuatku menarik sudut bibir. Menjadikannya pelajaran bahwa ada yang lebih sulit dariku. Dari situ aku senantiasa bersyukur atas nikmat-Nya dan setidaknya mengurangi sedikit perasaan mengeluhku.

Tentang hubungan Bang Anan dan Yana, aku tidak peduli. Toh, bukan urusanku. Ternyata sesakit itu mencintai seseorang yang tidak memiliki perasaan yang sama. Aku terjatuh begitu dalam, hingga akhirnya tersadarkan oleh fakta yang membuataku jatuh sungguh dalam hingga tak mampu bangkit.

Aneh juga ya, kenapa perasaan ini bisa tumbuh begitu saja? Pada orang yang salah lagi. Dan bodohnya aku berharap dia memiliki perasaan yang sama pula. Benarkah aku gila?

Hati ini milikku, seharusnya sebelum memutuskan untuk jatuh, aku harus memikirkan segala konsekuensinya. Apakah dia juga sama sepertiku? Memiliki perasaan yang sama? Seharusnya aku tidak mudah dibodoh-bodohi oleh perasaanku sendiri.

Hanya bisa mencintai tanpa bisa memiliki. Ketika memutuskan untuk mencintainya secara diam, maka aku juga harus siap sakit secara diam juga. Itulah hakikat seseorang yang mencintai dalam diam. Berani berharap harus siap kecewa.

Dan bodohnya aku melabuhkan perasaan ini padanya, padahal dia tak berharap menjadi dermaga tempatku berlabuh. Dia menginginkan yang lain, sampai sini jelas, bahwa aku lah yang bodoh!

Aku benci jatuh cinta!

Beruntungnya waktuku kini tersita banyak di rumah sakit, sehingga tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Aku juga tidak sempat untuk ke asrama walau hanya sekadar berkunjung. Sudah lama juga tidak berbincang dengan Yana, terakhir satu bulan yang lalu sebelum aku dihukum oleh pria monster gila itu.

Bicara soal pria monster gila dedemit itu, aku jadi setiap hari bertemu dengannya, bahkan bisa dibilang kami saling membutuhkan saat ada pasien operasi. Benar-benar hari yang membuat lelah, setiap hari juga kami berdebat. Kapan sih dia nikah? Setidaknya setelah menikah dia pergi kek ke luar negeri dan membawa istrinya selamanya. Sehingga batang hidungnya itu tidak kelihatan lagi.

Pernah saat itu ada kejadian aneh. Pasien teriak histeris saat melihat darah di ujung lututnya, padahal hanya sekecil upil. Tapi teriaknya melebihi ayam betina yang hendak bertelur, heboh satu kampung. Dan saat itu aku terduduk lelah di kursi. Menghadapi segala macam bentuk pasien yang aneh dan menyedihkan.

Dia bilang. "Lelah ya?"

Aku hanya mengangguk, bermasalah kali matanya. Sudah jelas, masih saja tanya. Tidak punya kerjaan banget!

"Sabar ya, karena sabar itu indah," lanjutnya lagi.

"Kapan indahnya?" aku lelah menghadapi semua ini.

"Ya sabar aja."

Issh! Menyebalkan!

Begitulah hari-hari kujalani dengan manusia aneh ini. Sudah stres, gila, dedemit, monster, hidup lagi. Untung tampan. Heran.

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang