بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS. Yusuf (12) : 111)
🌷🌷🌷
.
.
"Bapak mau kemana?" tanyaku saat melihat Dokter Dhanu beranjak dan membuka lemari es serta mengeluarkan beberapa bahan masakan.
Dia menatapku sekilas. "Masak," jawabnya singkat.
"Masak? Buat Alya?" tanyaku tidak percaya, masalahnya lehernya belum terlalu pulih.
"Hm."
"Gak usah, Pak. Biar Alya tahan sampe besok aja, suruh bibi yang masak. Bapak 'kan masih sakit," tolakku.
"Kamu mau maag kamu kambuh lagi? Ingat, Sa. Sudah kewajiban saya untuk menjaga kamu, sudah saya bilang 'kan? Kesehatan kamu nyawa saya."
Hatiku terasa ditimbun ribuan batu berton-ton lalu dibiarkan selama berjam-jam, istri macam apa aku ini? Untuk masak saja harus suami, beres-beres rumah harus pembantu, bahkan untuk membersihkan kamar masih pembantu. Aku merasa tidak pantas untuk menjadi istri dari Dokter Dhanu, seharusnya dia bisa memilih istri yang lebih baik dariku, istri yang bisa merawatnya, membahagiakannya, bukan justru menyusahkan. Seperti aku.
"Kamu lagi mikir apa?" tanya Dokter Dhanu.
"Bapak gak berniat cari istri lagi?" tanyaku melantur, saat ini pikiran dan hatiku tidak berada pada tempatnya. Semuanya terasa kacau.
"Maksud kamu apa?" tanya Dokter Dhanu tidak mengerti, tangannya masih sibuk meracik bumbu untuk masak.
"Yang bapak lihat dari Alya apa, sih? Sehingga bapak menikahi Alya? Alya gak bisa masak, cerewet minta ampun, petakilan, susah diatur, sering buat bapak marah, suka cari masalah. Gak ada spesialnya," kataku tidak mengerti. Aku sama sekali bukan wanita yang layak dijadikan istri.
"Karena kamu spesial."
"Emang Alya nasi goreng pake spesial?"
"Cukup saya saja yang tahu. Sekarang kamu bantu saya untuk potong-potong ini." Dokter Dhanu memberikan beberapa sayuran yang harus dipotong-potong padaku.
Aku masih diam mengamati sayuran ini. "Kenapa? Gak bisa motong juga?"
Mataku terbelalak. "B-bisa kok, Pak."
"Terus kenapa masih dilihatin sayurnya?"
"Bapak mau masak apa?"
"Cah sayur, kamu suka 'kan?" tanyanya, aku mengangguk. Walau sebenarnya tidak terlalu suka dengan sayur, tapi kali ini harus suka. Cukup sadar diri itu penting agar tidak lagi-lagi menyusahkannya.
Aku mulai mengiris brokoli, namun saat potongan terakhir, bukan brokoli yang teriris, namun jariku. "Awh," ringisku saat darah mulai keluar dan menetes di lantai.
Dokter Dhanu kelabakan saat melihat tanganku terluka, dengan langkah cepat dan tanpa diduga, ia menyedot darah dari jariku lalu membuangnya di wastafel sampai benar-benar tidak tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan Hati (Terbit)
RandomSetiap orang punya porsi kebahagiaannya masing-masing. Katanya, kebahagiaan akan menghampiri setelah badai datang menerjang diri. Pada akhirnya akan bahagia meski banyak proses yang dilalui. Tapi aku merasa porsi kebahagiaanku tidak sesuai. Mungkin...