Chapter 31

3.1K 314 12
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
___

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

(QS. Al Baqarah (2) : 21)

🌷🌷🌷




Happy reading 💕

.

.



Kicauan kukila begitu merdu terdengar di telingaku, suaranya saling bersahutan mengabarkan seolah ini sudah pagi, ditemani tetesan embun yang saling menampung dari satu daun ke daun lain. Udara yang begitu sejuk langsung menerpa kulit wajahku. Mentari pagi perlahan mulai menampakkan diri dari ufuk timur dengan malu-malu. Lalu lalang orang yang berdagang sedari tadi melintasi jalanan, ah aku jadi rindu suasana rumah. Sama persis seperti ini.

Sudah hampir tiga minggu aku tinggal di mansion mewah ini, suasana yang begitu nyaman tapi tidak kusuka. Karena di sini sepi, dan aku tidak suka kesepian. Kalau di rumah umi, pasti ramai. Banyak para santri melintas dan aku bisa saja mengajak mereka untuk sesekali ngobrol.

Sampai saat ini juga, perasaan itu belum tumbuh, sama sekali. Padahal kami sudah sering bersama dan sesekali bercanda. Tapi, aku belum bisa mencintai seseorang yang notabenya adalah suamiku itu. Perasaanku pada Bang Anan masih terlalu kuat untuk dihilangkan. Karena Bang Anan lah yang selalu ada di saat-saat terpurukku, dia yang selalu menguatkanku di saat aku lemah, bagaimana bisa melupakannya begitu saja? Walau kutahu perasaannya padaku tidak lebih dari seorang adik.

Ini masih terlalu pagi untuk aku mandi, segera kurebahkan lagi tubuhku di kasur memandang langit-langit kamar dengan lampu yang menggantung di sana. Jika lampu itu jatuh dan mengenaiku, aku tidak bisa menjamin masih ada besok. Lampu itu sepenuhnya terbuat dari kaca dan beberapa lapisan yang kukira terbuat dari campuran logam.

Tok tok

"Masuk," titahku, biasanya yang mengetok pagi-pagi seperti ini itu pelayan.

Seseorang masuk tanpa dosa dari pintu, sontak aku kelabakan mencari kerudung instan. Untung saja kerudung itu ada di sampingku, dengan cepat langsung kupakai.

"Bapak apa-apaan, sih! Main masuk gitu aja!" kesalku, bahkan sampai saat ini aku belum pernah menujukan rambutku padanya. Ya, walau dia sudah pernah melihatnya waktu pertama kali kami bertemu. Dan saat itu, aku menyesal luar biasa karena pernah menampakkan mahkotaku pada banyak orang yang bukan mahramku. Aku sungguh malu pada Allah.

"Tadi siapa yang bilang 'masuk'?" tanyanya menirukan suaraku tadi. Menyebalkan!

"Ada apa?" tanyaku, hari ini aku lebih memilih di rumah saja. Toh, dia sudah ada As-Op baru.

"Ini sudah siang, cepetan mandi!" suruhnya.

"Mau mandi, tapi kalau mandi...."

"Kenapa?" tanya Pak Suami bingung.

"Mandi 'kan buka baju, buka baju sama dengan buka aurat, kalau buka aurat sama aja, dosa. Kalau dosa, masuk neraka, gak jadi mandi deh, takut masuk neraka," jawabku sambil memperlihatkan deretan gigi.

Goresan Hati (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang