Part 41.1

9.5K 1K 168
                                    

"Nggak, Sayang. Insya Allah aku nggak seperti itu, karena aku sudah punya segalanya. Harta, tahta, Zulfa Nurulita."

*Eaaaa

***

Lima hari menjelang resepsi pernikahan. Semua urusan berjalan lancar. Undangan sudah semua disebarkan. Sabtu pagi untuk kolega dari keluarga Luli, juga dari Iqbal pribadi, dengan pertimbangan profesi dan institusi yang sama dengan bapak mertua serta kakak iparnya.

Sabtu malam adalah waktu untuk keluarga besar dari kedua mempelai. Sedangkan hari Minggu pagi untuk kolega dari keluarga Iqbal, utamanya rekan-rekan bisnis abahnya.

Minggu malamnya Iqbal berencana mengadakan open cafe. Semacam open house tapi diadakan di kafenya. Acara ini diadakan Iqbal khusus untuk mahasiswa dan mahasiswinya, tentu saja yang masih bertahan di Semarang, sebab liburan telah tiba, sebagian dari mereka sudah bubar jalan kembali ke kota masing-masing.

Seperti halnya Zulfikar, Iqbal pun sangat detail dalam merencanakan sesuatu. Jadi meski bisa dibilang dadakan, semuanya berjalan dengan baik dan tak ada halangan yang berarti.

"Neng, aku minta maaf ya," kata Iqbal. Mereka baru usai mendirikan qiyamul lail.

"Kenapa, Kak?"

"Ya karena hari ini aku harus ke Jogja. Aku udah berusaha minta digantiin, tapi Pak Kaprodi tetap meminta aku yang ikut."

Iqbal akan pergi ke Jogja untuk mengikuti seminar geoteknik yang diadakan oleh salah satu perusahaan besar. Sudah direncanakan sejak beberapa waktu sebelumnya, tapi ia sendiri merasa agak berat meninggalkan istrinya.

"Iya. Nggak apa-apa. Kan udah lama juga direncanainnya, Kak. Malah jadwal seminarnya udah lebih dulu ada sebelum rencana acara resepsian kita besok, kan?"

"Iya sih. Tapi kok aku rasanya berat banget ya ninggalin istri cantikku sendirian."

"Halah, gombal. Aku tuh nggak cantik, Kak."

Senyum Iqbal melebar, "Bagiku, kamu tetap yang tercantik di dunia ini, Neng."

"Sekali gombal ya tetap gombal, Kak!" Luli cemberut.

"Eh, tapi beneran kan Kakak perginya sama Pak Andreas?"

"Iyalah. Kuatir amat."

"Nggak gitu, Kak. Tapi aku memang nggak suka kalau Kak Iiq pergi-pergi sendiri. Jauh pula."

"Kenapa?"

"Nanti kalau di jalan ada godaan, Kakak nggak ada yang ngerem."

"Enak aja! Memangnya aku cowok apaan, gampang banget tergoda."

"Ya kan track record-nya Kakak sebagai playboy masih---"

"Jangan sebut-sebut itu lagi, Neng. Aku nggak playboy. Dan aku nggak suka dibilang playboy." Iqbal tak terima. Dia memang paling tak suka dengan cap yang satu itu.

"Iya tapi kan mantannya Kak Iiq banyak. Selusin lho."

"Udah ah. Aku mau siap-siap. Kamu juga siap-siap ke rumah ibu, gih." Pembicaraan diakhiri sepihak.

"Kakak nggak pengin ngajak aku, gitu?" Bukannya berhenti, Luli malah mengajukan pertanyaan yang bikin Iqbal galau.

"Aku juga sebenernya pengin ngajak kamu, Neng. Tapi kamu kutinggal di mana pas aku acara? Lagipula, aku berangkatnya bareng Pak Andreas. Kamu pasti nggak nyaman kalau ikut kami."

Iqbal berhenti lagi. Menanggapi setiap pertanyaan Luli.

"Kakak seneng ya kalau disuruh berangkat seminar-seminar, gitu?"

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang