Part 6.

17K 1.6K 315
                                    

Saya nggak suka lihat kamu menangis sekarang, karena saya nggak bisa apa-apa. Saya ingin jadi seseorang yang menguatkan setiap kali kamu menangis, tapi nggak bisa kalau cuma dengan melihat saja.

Menikahlah dengan saya, Zulfa.

-------

*belum apa-apa aku udah pengen bilang 'eheks'. Gombalmu lho, Bal!!

*3,5K words. Bisa sambil makan cangcimen dan minum mijon nih

*beli permen di poskamling,
happy weekend & enjoy reading

***

Hampir dua pekan sejak Iqbal menyampaikan lamaran. Semenjak itu pula, semua berjalan seperti biasa. Pun saat di kampus, Iqbal tak sedikit pun terlihat berbeda, ia memperlakukan Luli seperti yang sudah-sudah. Tentu saja ini membuat Luli dilanda bimbang. Sebenarnya Iqbal serius atau tidak saat memintanya menjadi pendamping hidup?

Meski ia yang meminta dosennya itu untuk tak menghubungi, sesungguhnya hati tak bisa dipungkiri. Ia ingin menerima perlakuan sedikit berbeda setiap kali mereka bertemu di kampus. Yaa, minimal tatapan mata lah.

Luli hanya tak tahu. Di sana, Iqbal sekuat hati menahan rindu. Bukan satu dua kali keinginan untuk menyapa Luli datang, ia hanya berusaha menekannya hingga menghilang. Bahkan menatap wajahnya pun tak dia lakukan. Tersiksa? Pasti. Tapi ia berusaha menghormati keinginan Luli.

Sepanjang hampir dua pekan pula, nyaris setiap hari mereka berdua hanya saling menyimak recent update di status whatsapp masing-masing. Hingga menjadi semacam kode, bahwa sesungguhnya mereka saling menyimak dan memperhatikan. Aish.

Sabtu pagi menjadi waktu yang dinantikan oleh Iqbal. Besok ia akan ke rumah Luli, untuk mendengar jawaban dari keluarganya. Itu berarti ia akan kembali bertemu sang pujaan hati. Bertemu dalam arti sebenarnya. Bukan sekadar melihat dari jauh, lantas berpura-pura menganggapnya tak ada. Capek.

Sejak berhari lalu ia bertekad untuk menyapa Luli sehari sebelum kehadirannya. Ditatapnya layar gawai dengan senyum terkembang. Membaca kembali obrolan pertama mereka pasca status tak lagi sekadar dosen dengan mahasiswinya.

Lalu senyumnya memudar, begitu membaca permintaan Luli keesokan sorenya.

[Assalamualaikum pak Iqbal.
Maaf. Kalau kita nggak kebanyakan ngobrol seperti semalam nggak pa-pa kan, Pak? Saya takut terjebak dlm hubungan yg sebenarnya belum diperbolehkan]

[Maaf ya pak]

[Maksudmu pacaran?]

[Kurang lebih demikian pak]

[Sebenernya saya keberatan. Tp saya akan berusaha menghormati permintaan kamu Zulfa]

[Maafkan saya kl membuat kamu jd nggak nyaman]

[Saya yg minta maaf pak. Saya justru takut terlalu nyaman, hingga kebablasan & melanggar prinsip yg saya pegang selama ini]

[Nggak pa-pa Zulfa]

[Oh ya pak. Kl di kampus, tolong bersikap biasa saja ya pak]

[Insya Allah]

[Terima kasih banyak ya pak]

[Sekali lagi maafkan saya]

[Tapi saya boleh merindukan kamu kan Zulfa?]

[Itu hak bapak]

[Kamu juga punya hak buat merindukan saya kok]

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang