Dia cuma butuh menjauh sebentar. Dia nggak bisa marah sama orang yang dia sayang. Apalagi sama kamu, calon ibu dari anak-anaknya. Makanya dia mengambil jarak dulu, sampai hatinya tenang kembali.
***
Sorry, part ini masih agak melow-melow. Silakan skip dulu kalau kalian kurang suka. Lagi nggak ada ide buat nulis yang lucu-lucu nih. Wkwk...
Enjoy reading.
***
Luli membuka mata. Seperti yang sudah-sudah, ia tak menemukan sang suami di sampingnya. Tak jauh dari tempat tidur, Iqbal baru saja mengakhiri doa panjang sebagai penutup qiyamul lailnya.
"Kak." Belum apa-apa Luli sudah merengek manja.
Iqbal buru-buru menghampiri sang istri. Menyorongkan punggung tangannya untuk dicium Luli. Ia lalu berlutut di samping tempat tidur, mengecupi setiap bagian wajah istrinya dengan penuh cinta. Selalu begitu.
"Kak Iiq tuh nggak pernah nggak wangi ya."
"Ya dong. Makanya jangan keseringan begadang. Biar bisa bangun duluan. Jadi aku bangun kamu udah wangi, gak bau iler gini."
"Tuh kaaan, ngejek." Luli merajuk.
"Hehe, iya iya. Nanti lama-lama bisa kok. Ini aja udah kemajuan kan. Kata Zulfikar, kamu rajin salat malam, tapi hampir selalu mepet-mepet subuh, jadi paling dapat dua rakaat. Belum sempet berdoa udah adzan subuh pula." Iqbal mengacak rambut istrinya.
"Mau ke toilet?"
"Iya."
"Sekalian wudhu ya, Sayang. Aku gendong deh ke kamar mandinya." Luli mengangguk, mengalungkan tangan ke leher suaminya.
Hanya empat rakaat, lalu adzan subuh terdengar. Iqbal mendirikan salat fajar, lalu bersiap ke masjid bersama Erik. Ya, mereka masih di rumah Acha.
Sepulang dari masjid, Iqbal menemukan Luli gegoleran lagi di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat lesu.
"Kenapa, Neng? Mukamu kok kusut gitu."
"Tadi laper, nyoba makan sereal. Tapi habis itu mual, terus muntah-muntah. Kayaknya susunya yang bikin eneg. Mana Kak Iiq nggak pulang-pulang. Kan kesel."
"Ya Allah, maaf ya, Neng. Tadi tuh ada kultum dulu. Tapi kultum di sini tuh kayaknya kuliah tujuh belas menit. Lumayan tuh lamanya. Mana Pak Haji yang ngisi kultum ternyata temennya aki. Bang Erik sih, pakai bilang segala, jadilah aku diajakin ngobrol dulu. Feelingku udah nggak enak, rasanya pengin cepet-cepet pulang. Ternyata nyonya lagi bete."
"Nggak bete, Kak. Cuma muntah-muntah aja kok. Serius. Saya kan sekarang nggak mau jadi orang yang dikit-dikit bete. Saya mau jadi orang yang dewasa, yang nggak gampang emosi, yang ---"
"Udah udah, kamu nggak perlu memaksakan diri jadi kayak gitu, Neng. Sambil jalan aja, nanti kalau udah makin dewasa kan lama-lama bisa menyesuaikan. Nggak usah dipaksakan. Aku sayang kamu apa adanya."
"Kalau gitu, saya minta nomor HP-nya Mbak Pipit boleh ya, Kak?"
Wajah Iqbal mendadak gusar. Pikirnya semalam adalah yang terakhir. Ternyata ia salah.
"Nggak punya."
"Jangan bohong deh, Kak."
Nyatanya Iqbal memang sudah menghapus kontak Pipit di handphone-nya. Pesan instan, history call, bahkan pesan-pesannya dengan Kinan, semua sudah dia hapus. Ia sendiri memang ingin menutup buku atas segala kisah masa lalunya itu.
"Ya Rabb. Buat apa lagi sih, Neng? Apa masih belum cukup yang semalam? Kamu dengar sendiri kan dia sudah menolak permintaan pertemananmu? Sudahlah, nggak usah menambah beban untuk orang yang sudah menahan banyak kesakitan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Ipar
General Fiction(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dulu untuk paham cerita ini. ------- Iqbal Sya'bani (Iqbal). Dosen fakultas teknik yang brillian, tampa...