Part 43.

16.1K 1.2K 286
                                    

Karena bahagianya Luli yang jadi kebahagiaan buat Iiq sekarang ini.

***

Nenek sihir makan pukis
Part terakhir, please... jangan nangis

***

Luli baru saja selesai menuang sendok terakhir kacang hijau dari panci ke mangkuk. Salah satu kudapan kesukaannya selama hamil muda. Ia sudah cukup jago memasak menu satu itu, sebab manfaatnya yang katanya baik untuk ibu hamil. Dan ia membuat dalam jumlah banyak. Salah satu alasannya adalah keberadaan Nara yang juga sedang hamil, dan Lila yang memang suka kacang hijau.

Senin sore itu keluarga Rofiq Hidayat berkumpul di rumah bapak ibu. Full squad. Maka Luli memutuskan untuk menyajikan masakan hasil karyanya sebagai teman ngobrol di teras belakang.

"Bikin apa sih, Neng? Enak banget baunya."

Iqbal menyusul ke dapur. Mengendus-endus aroma kacang hijau sambil memeluk Lulinya dari belakang. Modus sih. Sebenarnya yang dia hirup dalam-dalam adalah aroma rambut sang istri.

"Kacang ijo, Kak. Karena bikinnya agak banyak, jadi bisa buat nemenin ngobrol di belakang," jawab Luli sambil bersiap membawa nampan besar berisi enam mangkuk berukuran sedang.

"Bu Nani udah diambilkan?"

"Udah, Kak. Kumasukin ke kulkas."

"Alhamdulillah. Sini, Sayang, biar aku aja yang bawa. Kamu nggak boleh bawa yang berat-berat. Cukup bawa Sya'bani junior aja. Itu juga udah berat, kan? Lahir batin malah." Seperti yang sudah-sudah, Iqbal mana pernah membiarkan Luli kerepotan.

Di belakang, ibu sedang asyik merawat beraneka tanamannya. Iqbal menaruh nampan pada meja kecil yang ada di teras.

"Bapak belum pulang, Bu?" tanya Iqbal.

"Udah kok, Iq, lagi mandi. Paling sebentar lagi ke sini."

"Luli bikin kacang ijo buat semua ya, Bu. Mas Fikar sama Nara kan belum pernah nyobain kacang ijo bikinan Luli."

Luli duduk, bersandar manja pada suaminya. Tangannya meraih toples berisi kacang almond. Ibu menghentikan kegiatannya, mencuci tangan di keran, lalu bergabung dengan anak dan menantunya.

"Memangnya kamu masak apa, Luli? Kok terdengar agak meragukan."

Sosok tinggi langsing keluar, berkalung handuk yang sebagian sisinya ia pakai untuk mengeringkan rambut ikalnya. Pertanyaan yang mengandung konten ledekan meluncur darinya.

"Cieee, sore-sore keramas, rajin amat yak!" teriak Luli balas menggoda.

Ibu tertawa. Iqbal bersiap mendengar jawaban dari kakak ipar, yang biasanya disusul perang saudara level paling bawah.

"Habis dari lapangan, juga. Anak kecil tahu apa sih soal keramas?"

"Anak kecil mana ada yang hamil, wahai Lord Zulfikar Aditya?! Nggak suka aja lihat aku jadi dewasa dan jadi istri sholihah."

"Istri sholihah mana ada yang neriakin kakaknya macam begitu?" Fikar mendekat. Melempar handuknya ke muka sang adik.

"Hih, ngeselin. Nggak higienis banget." Luli melempar balik handuk kakaknya. Asal saja.

"Udah sih, makin pada tua kok malah makin heboh gini kalau ketemu," omel ibu. Dipungutnya handuk yang jatuh dekat kakinya.

"Nara ke mana, Fik? Panggillah, biar rame-rame di sini," suruh ibu lagi.

"Naaa," panggil Fikar.

"Dalem, Mas? (Iya, Mas?)" jawab Nara sambil tergopoh keluar dari kamar menuju mereka.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang