"Bu, Kak Iiq tuh kayaknya pelit lho, Bu."
***
Apalagi sih si Luli iniiii?!
***
Hari masih terbilang pagi, tapi Tuan dan Nyonya Sya'bani sudah tiba di kediaman orang tua Luli. Bapak ibu baru saja selesai sarapan berdua, sedangkan keluarga Fikar sudah sejak pagi berangkat ke Salatiga. Fikar ada pekerjaan di dekat sana, Nara yang sedang libur sekalian menghabiskan beberapa hari di rumah ibunya.
Yang pertama dilakukan Iqbal adalah meminta maaf pada kedua mertuanya atas insiden kemarin. Ia merasa bersalah, karena telah meninggalkan Luli dan membiarkannya kebingungan. Bahkan menyeret keluarganya untuk ikut masuk dalam kisruh rumah tangga mereka.
"Maafkan Iiq ya, Pak, Bu. Biasanya Iiq bisa mempertahankan logika dan nggak menuruti perasaan saja. Tapi membayangkan Luli pergi, apalagi berboncengan dengan Angkasa, Iiq kok jadi nggak terkendali. Iiq sayang banget sama Luli, Pak, Bu, sampai nggak bisa mengelola cemburu.
"Alhamdulillah. Memang harus begini jalannya. Iiq kemarin nge-blank, Pak, Bu. Dari sini ke Madina. Dari Madina, Iiq jalan saja ke proyek abah di Semarang Barat sana, eh malah ketemu abah di sana. Pas ditanya di mana Luli, Iiq langsung pamit. Kalau ketahuan abah pasti dimarahi habis-habisan." Iqbal meringis.
"Daei sana terus Iiq ke kafe. Qodarullah, di sana ada sesuatu juga yang berpotensi mengganggu hati. Akhirnya Iiq keluar, sembarang saja bawa mobil, kok terus perasaan seperti ngajakin ke tempat abah kakung. Hampir jam sembilan Iiq sampai sana.
"Abah kakung mengingatkan Iiq, kalau cintanya Iiq, sayangnya Iiq ke Luli itu sudah mencapai level berlebihan. Sudah berpotensi untuk bergeser, bukan cinta yang mendekatkan pada Allah, tapi justru menjauhkan, karena seolah-olah Luli yang lebih penting buat Iiq," papar Iqbal panjang lebar. Jujur pula.
"Alhamdulillah. Bapak lega. Bapak yakin, kamu bukan orang yang tidak bertanggungjawab atau semacamnya. Dan peristiwa kemarin itu biar jadi pelajaran untuk kita semua. Sudah, nggak usah dibahas panjang lebar, yang terpenting kalian berdua sudah saling bicara, sudah clear, dan sudah makin mengerti satu sama lain.
"Insya Allah ke depannya akan lebih baik lagi. Iqbal dalam mengelola cemburu dan perasaan, Luli dalam mengambil sikap atas sesuatu yang tidak disukai suami. Utamanya bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik.
"Yang bapak dan ibu suka, Iqbal nggak pernah meluapkan emosi di depan Luli. Sejauh ini pasti bisa menahan diri, bisa menekan emosi, ya walaupun harus dengan menjauh sementara waktu. Cuma besok lagi, kalau pergi itu ya jangan merahasiakan posisimu to, Iq. Karena, ya seperti yang kamu bilang tadi, yang bingung bukan cuma Luli, tapi kami semua."
Bapak dan ibu tertawa. Iqbal dan Luli turut pula, tetapi dengan rasa malu yang memenuhi hati keduanya.
Iqbal lalu menawarkan pada bapak untuk ke kampus bersamanya, tapi bapak menolak. Bapak mau membawa mobil sendiri karena agak siangan nanti ada acara di luar kampus.
Jam delapan, dua pria berbeda generasi berpamitan. Masing-masing hendak ke kampus yang sama dengan fakultas yang berbeda. Ibu dan Luli mengantar keduanya sampai di teras. Lalu melepas keberangkatan para suami dengan senyum lepas.
Setelahnya mereka berdua masuk dan berhenti di ruang tengah. Luli melahap kudapan yang tersedia di meja. Sebenarnya ia sudah makan, tapi kondisinya saat ini memang sedang senang-senangnya mengisi perut dengan berbagai makanan ringan.
Usai menghabiskan potongan prol tape keju yang ketiga, Luli menuntaskan pula tetes terakhir dari susu UHT plain favoritnya.
"Bu, Kak Iiq tuh kayaknya pelit lho, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Ipar
General Fiction(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dulu untuk paham cerita ini. ------- Iqbal Sya'bani (Iqbal). Dosen fakultas teknik yang brillian, tampa...