Part 22.

13.7K 1.3K 269
                                    

Menikah bukan cuma menyatukan dua manusia yang berbeda, tapi juga menjadikan keduanya mau menerima dan mengatasi perbedaan yang ada.

- kata Iqbal Sya'bani -

***

Luli memicingkan mata, kepalanya terasa begitu berat. Ia hendak bangkit, ketika sebuah lengan merengkuhnya.

"Alhamdulillah. Kamu tidur kaya orang pingsan, aku kuatir banget. Apa yang kamu rasakan, Neng? Minum obat ya?"

"Ini jam berapa, Kak?" Luli menatap suaminya. Dari sudut matanya, terlihat sebuah macbook terbuka dengan layar menyala. Hendak komplain, tapi ia merasa tak cukup daya.

"Jam satu lebih. Kamu tiduran aja kalau masih berat."

Luli menghela napas. Ia teringat belum salat isya.

"Saya belum salat, Kak. Mau wudhu."

"Iya, sebentar lagi ya. Kamu kumpulin dulu kesadaranmu. Jangan langsung bangun, turun, dan kena air."

"Tapi saya nggak tenang kalau belum salat, Kak."

"Oke. Aku gendong ya?" Luli terpaksa mengiyakan. Badannya memang terasa tak enak. Maka ia memilih pasrah, tak mendebat suaminya.

Dengan telaten Iqbal menggulung celana panjang istrinya hingga bawah lutut. Lalu mengikat rambut ikal yang aroma stroberinya tak pernah bosan ia hirup.

Tanpa kesulitan ia mengangkat Luli, yang langsung bersandar manja pada lengannya.

"Ehm ehm." Sebuah suara terdengar dari depan mereka. Sesosok jangkung tampak beraktivitas di dapur.

"Belum tidur, Fik?" Iqbal berbasa-basi.

"Nara lho sampai tanya, sebenarnya Luli yang lebay atau kamu yang bucin?" ujar Fikar tanpa menoleh. Bukannya menjawab, ia malah tersenyum meledek pada kedua adiknya.

"Apa sih, Mas? Ngejek orang nggak lihat sikon." Luli meluapkan kekesalan meski dengan lemah.

"Udah, wudhu dulu. Yang lain-lain nanti lagi." Iqbal menenangkan. Menurunkan Luli di kamar mandi, lantas menunggu di depan pintu. Luli tak berkenan untuk dibantu. Mungkin malu.

Usai buang air kecil, mencuci muka, gosok gigi, dan berwudhu, Luli keluar dengan kondisi lebih segar.

"Kamu kenapa?" tanya Fikar sambil mendekati adiknya.

"Nggak usah terlalu dipikirkan. Iqbal ya begitu. Penggemarnya mengular. Itu baru anak sipil. Belum yang anak arsitektur, industri, kimia, elektro. Jangan salah, anak fakultas lain juga ada lho. Hukum, fisip, psikologi, eko---"

"Ck. Kamu kesambet apa, sih, Fik? Tumben-tumbenan provokatif gini." Iqbal kesal sekaligus heran. Tak biasanya Fikar 'ember' begitu.

"Iya tuh, lamb* turah! Malam Jum'at obatnya habis kali. Atau ... nggak dapet jatah dari Nara." Luli menimpali.

"Wow. Anak kecil sudah bisa ngomong jatah segala." Fikar lagi-lagi tersenyum. Kemudian ia menggendong Luli tanpa permisi.

"Mas, turunin! Apaan sih? Aku bukan anak kecil lagi. Aku tuh udah punya suami. Turunin ih. Lebay banget sih." Luli mendorong-dorong dada kakaknya. Tapi percuma.

Iqbal mengikuti mereka. Hatinya merasa tak terima. Kalau saja bukan kakak kandung istrinya, pasti sudah dia ajak baku hantam saat itu juga.

"Sudah, nggak usah dipikirkan bercandanya Iqbal. Percayalah, dia nggak akan berani nyari yang kedua, ketiga, atau keempat. Menghadapi kamu saja dia sudah nggak berdaya begitu." Fikar menasehati Luli setelah menaruhnya di atas kasur.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang