Part 18.1.

13.5K 1.3K 184
                                    

Nggak. Istri saya perempuan biasa saja, tapi buat saya, dia teramat sangat istimewa.

***

Luli deg-degan. Ini menjadi hari pertamanya ngampus dengan menyandang status sebagai istri dosen. Satu hal yang dia syukuri, tak ada kelas yang mengharuskan dia dan Iqbal berada di ruangan yang sama. Luli sedikit lega.

Sengaja berangkat agak mepet, ia tak siap jika harus mendengarkan obrolan teman-temannya tentang pernikahan Pak Iqbal dengan hamba Allah.

Meski yang dikatakan Iqbal dan Alif semuanya benar, tapi untuk membuka status hubungan mereka pada khalayak teknik sipil tentu tak semudah itu, Sergio Santibanez!

Dugaan Luli seratus persen tepat. Teman-temannya sedang membahas satu topik, 'benarkah Pak Iqbal menikah?'.

Yang lebih menyedihkan lagi, Bu Santi, dosen Analisis Struktur 2 tak juga datang. Luli merasa percuma datang mepet waktu. Tau gitu kan nelat aja sekalian. Mana ia tak menemukan penampakan sosok Nara di sekeliling teman-temannya.

[Nar kamu dimana?]

[Perpus. Gak siap kl ada yg nanya soal Pak Iqbal. Aku kan anak baik2, gak bakat bohong]

[Eh, Bu santi udah dtg blm?]

[Belum]

[Kabari ya kl udah dtg]

Bahkan Nara, yang kata 'terlambat kuliah' saja tak pernah mampir di kamus hidupnya, sampai bela-belain memanfaatkan waktu sepuluh menit sebagai toleransi keterlambatan untuk kelas Bu Santi. Ckckck.

"Teman-teman, minta perhatiannya sebentar ya," kata Andro di depan kelas, "Bu Santi barusan kasih kabar kalau beliau kena macet karena ada kecelakaan di bawah jembatan tol. Sambil nunggu, kita dikasih latihan soal. Silakan dikerjakan ya. Pembahasan tentang Pak Iqbal bisa dilanjutkan nanti lagi."

Kelas kembali riuh oleh suara huuu. Tapi segera tenang beberapa detik berikutnya.

Andro mengedarkan pandang, sekedar basa-basi sebelum matanya berhenti pada Luli. Mereka beradu pandang. Luli menelan ludah. Tatapan Andro terkesan mengintimidasi, seperti sedang berkata pada Luli, "Kamu kan orangnya?"

Ya, ini masih tentang trending topic warga teknik sipil tiga hari terakhir ini. Apalagi kalau bukan pernikahan Iqbal Sya'bani dengan..., ya benar, hamba Allah.

"Zulfa, tolong kamu yang tulis soalnya ya."

"Ehk, kok aku sih?!"

Tapi Luli tetap maju dan melaksanakan apa yang diminta sang ketua angkatan. Lagipula hanya menulis saja, tak sampai lima menit juga selesai.

"Zul, tumben pake cincin?" komentar salah satu teman. Keras pula suaranya.

Jantung Luli seakan mau copot, "Duh, bego. Cincinnya lupa dilepas."

"Tapi bukan kamu kan, Zul, yang nikah sama Pak Iqbal?"

Satu dua celetukan mulai mampir di telinga Luli. Ia menelan saliva berkali-kali. Berkali pula mengumpat dalam hati, menyesali kebodohannya yang hakiki.

"Ehk, b-bukan. I-ini...."

Tak melanjutkan bicara. Luli ingat perkataan suaminya, bahwa ia tak ada kewajiban untuk menjawab, apalagi klarifikasi. Jadi ia memutuskan untuk membiarkan saja, karena ia tahu, berbohong hanya akan mempersulit keadaan.

Waktu terasa begitu lamban, Luli tak sanggup berkonsentrasi untuk mengerjakan soal-soal latihan. Rasanya ingin menangis. Gimana mau ngejar IP 3,0 kalau begini caranya?

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang