Part 27.

11.4K 1.2K 197
                                    

Pulang sana. Minta maaf sama istrimu. Nggak harus siapa yang salah dia yang minta maaf. Minta maaf duluan insya Allah lebih mulia.

- kata Acha (lagi) -

***

Sudah menjadi kebiasaan keluarga Sudjana untuk berhari raya di rumah orang tua abah di Bandung. Setelahnya baru ke rumah abah kakung di Pemalang. Menginap beberapa malam, sebelum kemudian pulang ke Semarang.

Lebaran kali ini menjadi istimewa bagi Iqbal. Untuk pertama kalinya ia menggandeng pasangan halal di hadapan saudara-saudaranya. Cara Iqbal menunjukkan sayang dan perhatiannya pada Luli sampai membuat baper sepupu-sepupu, bahkan ua, mamang dan bibi-bibinya.

Nyatanya ia memang bahagia. Ngambekan iya, manjanya pun luar biasa. Tapi pelayanan Luli selama bulan puasa sungguh membuat Iqbal tak bisa untuk tak jatuh cinta setiap hari padanya.

Luli sendiri tetap berpuasa, walau beberapa kali terpaksa harus membatalkan karena kondisi. Tapi dasar Luli, ia tetap menolak untuk dicek kondisinya. Sedangkan Iqbal, ia berkeras bahwa Luli hamil meski tanpa pemeriksaan apapun yang memberinya kepastian.

Iqbal sudah berhenti memaksa Luli. Ia hanya meminta sang istri menjaga kondisi. Ia sendiri makin sayang dan sangat berhati-hati memperlakukan Luli.

Mereka sudah bicara banyak dari hati ke hati. Iqbal tahu, sesungguhnya Luli belum siap. Benaknya dipenuhi imajinasi akan kesulitan dan hal-hal berat yang mesti ia lalui jika hamil dalam kondisi masih kuliah. Iqbal bisa memaklumi.

Seperti biasa, setiap H+2 lebaran, keluarga besar abahnya Iqbal selalu mengadakan acara kumpul keluarga. Aki dan anak, cucu, mantu dari eninnya semua berkumpul di cafe & resto milik salah satu adik abahnya. Iqbal dan Luli tentu saja tak ketinggalan. Acara ini pula menjadi ajang untuk memperkenalkan lebih dekat anggota keluarga baru, yang sudah halal tentu.

Iqbal dan Luli pastilah menjadi pusat perhatian. Karena di mana pun Iqbal berada, ia hampir selalu menjadi kesayangan dan idola. Pun di tengah-tengah keluarga abahnya.

Menjelang maghrib acara baru selesai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Iqbal tak langsung pulang, ia memilih untuk salat maghrib di sana dan menikmati suasana. Bedanya, kali ini ia tak lagi sendiri. Ada Luli yang menemani.

Entah mengapa ia sangat suka dengan suasana kafe milik mamangnya itu. Terutama di area balkon yang semi terbuka. Semilir angin yang menembus pori-pori kulitnya menguarkan aroma Bandung yang kental, begitu kata Iqbal.

"Kak, dingin. Kita pindah ke dalam aja yuk," keluh Luli.

Iqbal tak membiarkan sang istri mengeluh dua kali. Ia memanggil salah satu kru kafe dan meminta tolong untuk memindahkan makanan dan minuman ke salah satu meja di area dalam.

"Udah nggak dingin kan, Neng?" Luli mengangguk. Iqbal menggenggam jemari istrinya dan mengelus lembut dengan satu tangan lainnya.

Kopi hitam panas di hadapannya masih tersisa separuh, ketika pandangannya bertumbukan dengan satu sorot mata yang masih begitu lekat dalam ingatan.

Pipit.

Iqbal terkejut. Ia serta merta membuang pandang. Begitu pula perempuan yang baru saja bersitatap dengannya, dia menundukkan wajah dalam-dalam.

Semua terjadi dalam hitungan detik. Tapi bertepatan pula dengan mata Luli yang sedang tak lepas memandang kagum pada wajah suaminya. Maka tak bisa dihindarkan, ia melihat perubahan raut wajah pria tampan di depannya.

Luli mengarahkan kedua netra pada apa yang baru saja membuat suaminya berubah seketika. Pandangannya tertuju pada seorang gadis dengan penampilan yang anggun. Mata mereka sempat beradu, Luli menemukan kelembutan pada kedua mata yang baru saja menatapnya. Kelembutan sekaligus ... luka.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang