Aku jadi merasa kalau selama ini belum jadi kakak yang baik buat kamu. Dan kesadaran itu baru muncul ketika kamu sudah hampir jadi milik orang lain. Nyesek ya ternyata.
- kata Fikar, pada Luli -
---------
* Siapin tisu, ada sedih-sedihnya dikit. Gak ada tisu, mungkin bisa pakai ujung baju :D
* Pergi ke Klaten cuma beli piring.
Happy weekend & enjoy reading :)***
Tok tok tok.
Terdengar ketukan di pintu kamar Luli. Ia baru kelar membereskan ransel dan segala tetek bengek yang akan menemaninya ke kampus hari ini.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Dengan sedikit malas ia beranjak menuju pintu. Dan makin malas begitu tahu siapa yang berdiri di depan situ.
"Boleh masuk?" Fikar bertanya.
"Hemm."
Luli menaruh badannya ke atas tempat tidur. Duduk memeluk lutut di sana. Fikar mengambil posisi di samping adik kesayangan, yang mengaku sudah memaafkan tapi nyatanya masih terus mendiamkan.
"Selamat ya. Alhamdulillah, lebih cepat lebih baik."
"Hemm."
"Masih kesel?"
"Kan Mas emang ngeselin. Nggak ngerasa?"
"Tapi ngerasa juga kan kalau Mas sayang sama kamu?"
"Hemm," sahut Luli datar. Cuma mulutnya yang sedikit miring.
"Dua pekan lagi kamu menikah. Lalu Mas nggak punya tanggung jawab apa-apa lagi atas kamu. Sounds so sad nggak sih, Luli?"
"Mas kan emang nggak punya tanggung jawab apa-apa sama aku? Sok penting banget."
"Oh ya? Jadi kalau ada apa-apa sama kamu, ada kesulitan yang mengancam kamu, dan semacamnya, cuma bapak yang wajib maju buat melindungi kamu? Kalau kamu melenceng dari jalur yang seharusnya, apa hanya bapak yang harus menasehati kamu? Enggak, Luli. Enggak begitu.
"Yang kulakukan kemarin mungkin memang menyebalkan ---"
"Memang aja! Nggak pake mungkin. Udah fix."
"Hehe, iya deh. Yang kulakukan kemarin memang menyebalkan..., buat orang yang sedang jatuh cinta."
"Mas nih mau ngajak baikan apa mau ngejek sih? Keluar aja sana gih. Ngeselin emang!"
"Iya. Ampun, Zulfa." Mendengar panggilan yang tak biasa, satu cubitan mendarat di pinggang Fikar. Sedang rona merah dan senyum malu-malu Luli mendarat di kedua mata kakaknya.
"Tau nggak, akhir-akhir ini aku sering ingat masa-masa kecil kamu. Yang suka banget ngambek, yang suka banget marah, tapi juga manis banget kalau pas merasa berterima kasih atau lagi sayang sama aku. Kira-kira, kalau udah jadi ibu dosen besok, aku masih punya kesempatan untuk dapat ngambeknya, marahnya, dan manisnya kamu nggak ya?"
Hati Luli mulai gerimis, tapi ia bertahan untuk tak menangis.
"Mas kan udah punya Nara. Udah ada yang ngambekin, marah, dan manis-manis sama Mas. Mana aku dibutuhkan buat yang begitu-begitu? Nggak ada waktu kan? Mas ke aku, Nara ke aku, udah sibuk semua kan? Terus, kenapa tiba-tiba sekarang merasa kehilangan aku?"
"Ya beda dong, Luli. Dengan Nara, bahkan dengan Lila, semua punya proporsi sayang masing-masing sesuai status atau posisinya."
"Tapi sayang yang Mas tunjukin ke aku waktu itu tuh berlebihan. Lebay. Malah jadi kaya nuduh kami kaya gimana gitu. Kaya yang aku tuh cewek gampangan banget. Padahal aku udah menjaga banget. Ya kalo khilaf dikit-dikit kan ya tinggal maafin apa susahnya, nggak usah pake marah-marah apalah kaya kemarin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Ipar
General Fiction(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dulu untuk paham cerita ini. ------- Iqbal Sya'bani (Iqbal). Dosen fakultas teknik yang brillian, tampa...