Part 8.

15.8K 1.4K 310
                                    

Zulfa, sebaiknya kita menikah segera. Nggak enak kan ada kesempatan berdua gini tp gak bisa dimanfaatkan.

-------

Aish apalah ini ada 'kesempatan berdua' segala. Butuh cctv nih kayanya.

***

Sudah menjadi kebiasaan Luli saat dilanda bosan. Ia akan pergi ke toko buku, dan menguras simpanannya bulan itu untuk membeli dua tiga buku.

Pun sore itu. Sudah hampir dua jam ia menghabiskan waktu di toko buku favoritnya yang terletak di Jalan Pandanaran. Asyik membaca dan memilih buku hingga lupa waktu, sebelum akhirnya membawa tiga judul ke kasir.

Usai menerima kembalian, diliriknya Casio yang melingkar pada pergelangan kanannya. 15.36, dan ia sedang tidak salat sehingga bisa sedikit lebih santai.

"Sudah bukunya? Cuma itu aja?" Satu suara menusuk gendang telinga Luli. Ia merasa akrab, maka menolehlah ia pada sumber suara.

Dilihatnya sepasang sejoli sedang menunggu antrian di kasir sebelah.
Seorang gadis muda --sangat muda malah-- menenteng tas belanja yang isinya terlihat gemuk. Entah berapa buah buku yang berada di dalam situ.

Gadis itu menggandeng mesra laki-laki di sebelahnya. Menggelendot manja, seolah dunia cuma milik berdua.

"Ini sudah banyak kali, Om. Kalo nambah lagi, nanti Om bisa bangkrut."

"Nggak lah, cuma buku. Apa sih yang enggak buat kesayangan Om."

Ya, Luli tak salah lagi. Suara itu memang sangat dia kenali, bahkan lebih dari sebulan terakhir ini menjadi suara yang seringkali ia rindui.

Perut Luli mendadak bergolak. Mual, muak, jijik, sebal, benci, marah bercampur menjadi satu. Rasanya ingin punya pintu ke mana saja, biar bisa langsung lompat ke kamarnya dan menumpahkan air mata di sana.

"Pak Iqbal?!" gumam Luli, yang ternyata cukup keras.

Laki-laki di hadapannya menoleh. Rautnya terlihat kaget.

"Zulfa, kamu ---"

Dan air mata Luli luruh begitu saja. Ia kabur tanpa bicara apa-apa. Iqbal sempat menangkap sorot mata yang menyiratkan kebencian di mata gadis pujaannya.

"Kamu bayar sendiri ya. Setelah itu tunggu Om di mobil." Sedikit tergesa ia serahkan dompet dan kunci mobil pada si gadis muda. Lantas berlari meninggalkannya. Mengejar Luli yang berkelebat secepat kilat.

Beruntung, Iqbal masih sempat menangkap bayangan Luli, yang berlari melewati area tas-tas, terus ke belakang menuju toilet. Gadis itu masuk ke satu toilet yang kosong, dan bersegera mengunci pintunya. Menyalakan keran untuk menyamarkan tangisnya.

Iqbal refleks masuk ke area toilet wanita. Mengetuk salah satu pintu yang ia yakini ada Luli di dalamnya. Menggedor lebih tepatnya.

"Zulfa, keluarlah! Saya bisa jelaskan semuanya. Ini salah paham. Please, keluarlah."

Pintu terbuka. Seorang ibu berusia hampir sebaya uminya keluar dari sana.

"Sial, salah bilik!"

"Masnya ngapain di sini? Ini toilet wanita lho. Mau berbuat jahat ya?! Saya laporkan satpam sekarang juga!"

"Ehk, b-bukan, Bu. Maaf. Saya menyusul emm ..., ist-istri saya. Y-ya benar, istri saya."

"Istri apa bukan? Kok nggak yakin gitu? Sudah, Masnya keluar atau saya panggilkan satpam! Siapapun yang di dalam sana, saya nggak akan biarkan dia keluar selama Masnya masih di sini. Keluar!"

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang