Extra Part 3

10.5K 825 225
                                    

Kita ini orang beriman, Asya. Genggamlah erat-erat keimanan kita, merasa bersyukur dan cukup pada segala yang kita punya. Insya Allah kita akan dijauhkan dari hal-hal yang Allah tidak ridho atasnya.

***

Rhoma Irama rebahan di tikar
Ini (sedikit) cerita tentang Rahma dan Zulfikar

Tikarnya basah nggak kering-kering
Kuy lah, happy reading

***

Zulfikar menyandarkan gitar pada kursi yang barusan ia duduki. Tadinya ia tak mau mengekspose diri, tapi terpaksa. Adik semata wayang, sekaligus sang empunya acara sebagai mempelai perempuan, memintanya untuk mengiringi menyanyi. Oh, bukan mengiringi, lebih tepatnya memilihkan lagu, mengajari sampai layak tampil, dan..., tentu saja mengiringi. Ya, begitulah.

Ia turun dari panggung kecil, banyak pasang mata mengikuti sosoknya. Sebagian mahasiswi kecewa sekaligus tercengang, begitu tahu dosen jurusan sebelah yang handsome tapi raut mukanya flat itu ternyata sudah beristri, mahasiswi teknik sipil pula.

"Ya Allah, Lul, bagus banget. Kereeenn," sambut istrinya. Bukan untuk dia, tapi untuk adiknya.

"Aku sampai nggak dianggap ya, Na. Cameo banget." Ia menyahut datar.

"Iya, dikacangin."

Bukannya menghibur suaminya, Nara malah membuat Fikar makin kesal. Ditambah pula tawa dari Luli dan Iqbal. Ia terpaksa menerima kalau di sana dia bukanlah sang tokoh utama. Hmm.

Fikar duduk di sebelah Nara, berhadapan dengan adik dan iparnya. Berempat bicara tentang penampilan Luli baru saja. Ia menceritakan kelakuan Luli saat memaksanya untuk perform malam ini, tawa berkali memenuhi meja mereka.

"Hei. Zul ya? Zulfikar? Masih ingat aku?" Seorang perempuan menyapa, menyela canda tawa mereka. Nama Zulfikar jelas-jelas yang disebut olehnya.

Fikar nyaris tersedak melihat siapa yang menghampiri meja mereka.

"Eh, ada Bu Rahma," sapa Iqbal sok sopan. Padahal sekuat hati menahan tawa.

"Apaan sih, Bal? Sok sopan banget." Rahma Khairunnisa tertawa.

"Sini, Bu Rahma. Silakan duduk sini. Kami mau menyapa teman-teman yang lain dulu."

Iqbal berdiri dan menarik Luli. Memberi kesempatan pada rekan seprofesi untuk sekadar bernostalgia masa SMA. Ia lalu berpamitan sambil melirik sang kakak ipar. Mata mereka beradu. Fikar menatapnya tajam seakan berkata, "Awas kamu ya!"

Iqbal buru-buru mengajak istrinya untuk berlalu. Masih sambil menahan tawa, sesekali menoleh ke arah meja yang ditempati Zulfikar, Nara, dan Rahma.

"Boleh aku duduk?" Rahma meminta izin.

"I-iya, s-silakan, Bu Rahma." Nara yang menjawab.

Ia berdiri sambil mengangguk pada perempuan yang juga dosennya. Hatinya bertanya-tanya, dari mana suami dan dosennya itu saling mengenal? Sedangkan Fikar, tetap duduk dengan default-nya yang datar, juga dada yang sedikit berdebar. Diliriknya sekilas sang istri, ia menangkap tanda tanya besar di wajah cantik yang tak pernah bosan ia pandangi.

"Masih sama ya, Zul. Masih tetap keren kalau udah di atas panggung."

"Eh, emm, iya, Mbak. Terima kasih." Masih tanpa ekspresi.

"Apa kabar, Zul?"

"Oh, emm, Alhamdulillah, baik, Mbak. Sehat."

"Masih ngajar di arsitektur?"

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang