Part 18.2.

13.9K 1.3K 248
                                    

Ketahuilah. Ilmu, jika kita bagi, maka ia akan bertambah, makin banyak lagi. Bukan hanya ilmunya, tapi juga manfaatnya, kebaikannya, keberkahannya.

****

"Fik, ngafe yuk. Aku mau ngobrol sebentar."

Iqbal memutuskan untuk curhat pada kakak ipar.

"Kapan? Di mana?" tanya Fikar, tetap datar.

"Kamu leganya kapan? Aku sih ini udah free."

"Serius? Gak ada bimbingan atau urusan lab gitu?"

"Dari pekan kemarin udah ngajuin izin, khusus pekan ini aku ke kampus buat ngajar aja."

"Luli?"

"Nyonya-nyonya ada praktikum nanti jam dua."

"Berangkat bareng apa ketemu di lokasi?"

"Bareng aja. Aku samperin di mana?"

"Oke. Jam dua di gedung 1 arsitektur. Telat lima menit batal."

"Rigid!" Fikar tertawa mendengar sahutan adik iparnya.

-------

Di kafe, mereka duduk di ruang kerja Iqbal. Salah seorang kru masuk, membawa secangkir kopi hitam dan segelas besar coklat panas.

"Gimana? Mulai pusing ngadepin Luli?"

Iqbal tertawa. Belum apa-apa sudah ketebak.

"Minum dulu lah, Fik. Belum apa-apa udah menyudutkan aku nih."

Fikar ikut tertawa. Menyesap pelan coklat panas hingga hampir berkurang separuh isi gelas.

"Ngambek lagi?"

"Kalo soal ngambek sih aku nggak masalah sebenernya, Fik. Tapi ini mulai mengganggu profesionalisme."

"Kalau itu nggak usah mikir panjang, Iq. Cut aja. Dia yang harus menyesuaikan kamu."

"Satu lagi, Fik. Apa Zulfa memang kepercayaan dirinya agak rendah? Perasaan, sebelum dengan aku kalo di kampus ya biasa aja lho."

"Kalau berkaitan dengan dirinya sendiri atau mereka yang satu level, dia pe-de banget, Iq. Tapi kalau berkaitan dengan orang lain yang secara hubungan atau level berada di atas dia, ya gitu, kepercayaan dirinya payah.

"Misalnya dengan aku. Dia itu nggak suka kalau harus dekat-dekat sama aku di acara yang melibatkan keluarga kami. Kenapa? Karena dia merasa selalu dibanding-bandingkan. Kakaknya tinggi kok adiknya kecil. Kakaknya pintar kok adiknya kurang. Dan semacamnya.

"Mungkin karena waktu dia kecil memang yang sering terjadi seperti itu, Iq. Kitanya saja yang nggak tau, kalau ternyata itu menjadi trauma atau memberi ketidaknyamanan tersendiri buat dia.

"Dan aku nggak heran sih kalau dia begitu sama kamu. Kamu kesayangan banyak orang, Iq. Secara level juga kalau dengan Luli yaaa seperti yang pernah kubilang dulu, samaawaati wal ard.

"PR kamu, Iq, untuk membuat dia keluar dari hal-hal semacam itu. Aslinya anak ini baik, happy, menyenangkan, rame, supel. Tapi ya itu tadi, kalau udah ngerasa insecure, ya udah. Susah."

"Oh, oke oke."

"Memangnya dia ngapain, kok sampai mengganggu profesionalisme? Atau kamunya saja yang lemah ngadepin Luli?"

"Asem! Ni orang kalo ngomong suka bener, tapi nggak pake filter. Jleb banget!"

"Emm...."

Iqbal pun menceritakan semua kejadian yang berkaitan dengan posisinya di kampus. Waktu Luli mempengaruhinya untuk mengundur deadline tugas karena belum selesai mengerjakan. Lalu kejadian pagi tadi, ketika Luli merasa terlalu nyaman di pelukannya sampai memintanya untuk tak mengajar dan menemani rebahan saja.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang