Iseng Part

9.2K 723 146
                                    

Alasan masih bersama
bukan karena terlanjur lama
tapi rasanya
yang masih sama
(Pamungkas - Monolog)

***

Malam nanti abah dan umi akan merayakan ulang tahun pernikahan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, beliau berdua memilih untuk mengadakan syukuran di pondok milik abah kakung. Mayoran kalau para santri bilang.

Usia pernikahan abah dan umi sudah memasuki tahun ke empat puluh. Suka duka, jatuh bangun, susah senang, dan semacamnya sudah dilalui oleh keduanya. Bagi umi, ulang tahun pernikahan kali ini sangat istimewa, sebab tahun ini umi dan abah sudah benar-benar selesai mengantarkan kelima anaknya menuju kehidupan pernikahan. Lebih istimewa lagi, sebab abah sudah selesai dengan cinta lamanya kepada ibu yang selama ini selalu membayangi.

"Neng, cepetan dong mandinya. Udah hampir jam sembilan nih. Kan kemarin udah janji sama abah umi mau berangkat jam sembilan. Ini udah telat."

Luli keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrobe. Handuk besar membungkus rambutnya yang basah. Mukanya kusut. Cemberut. Ia paling tidak suka kalau ada yang membuatnya terburu-buru saat sedang mandi.

"Apa sih, Kak. Kan tinggal bilang umi atau abah kalau kita agak telat. Nggak usah lebay gitu juga kali. Nyebelin!"

"Ya kamu juga biasanya nggak segini lama kalau mandi, Neng."

"Kan aku keramas, Kak."

"Keramas juga biasanya nggak sampai lama gitu, kan?"

"Ini tuh shamponya habis."

"Apa hubungannya? Kan tinggal panggil aku minta ambilin."

"Eh, emm, itu, Kak... Yang di penyimpanan habis juga." Luli menurunkan volume suara.

"Habis? Ya Allah, kok bisa lho? Harusnya kan kamu cek. Kalau udah tinggal 2 atau 3 itu segera beli lagi. Jangan sampai barang-barang yang kita pakai sehari-hari habis bis nggak ada persediaan sama sekali.

"Lagian, baru kemarin keramas kan? Nggak usah shampoan juga nggak apa-apa, kali. Yang penting kan niat mandinya, sama semua bagian tubuh terkena air, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nggak ada syarat pake shampo.

"Jangan diulangi lagi, ah. Besok pulang dari Pemalang kita belanja. Untung aja nggak ada bapak ibu atau abah umi yang main ke sini terus mau mandi butuh shampo."

Ya kali orang-orang tua main ke rumah anaknya ngecekin shampo? Apalagi mau keramas? Padahal cuma mau bikin aku ngerasa bersalah aja. Huh. Luli menggerutu, dalam hati saja. Tapi yang keluar dari lisannya cuma, "Iya, Kak. Maaf."

"Terus kamu ngapain, kok lama banget?"

"Eh, ya..., Luli, emm, itu, emm..., add water and shake before use."

"Maksudnya apa nih?" Kening Iqbal sampai berkerut. Tak paham.

"Yaa itu..., shamponya aku kasih air trus dikocok-kocok deh, baru dipakai shampoan. Lumayan." Sebuah cengiran Luli berikan.

"Cuma tadi buka tutup shamponya susah, jadi aku masukin airnya lewat bolongannya. Itu yang bikin agak lama, Kak."

"Ya Rabb. Mempersulit diri beneran deh kamu ini, Neng. Makanya, besok lagi kalau beli tuh yang besar. Terus dituang di wadah shampo yang nempel di tembok itu. Dibikinin yang begitu kan biar kelihatan, jadi nggak ada cerita kehabisan sabun atau shampo.

"Udah yuk, ah, cepetan. Nggak enak sama abah umi."

"Kan aku harus ngeringin rambut dulu, Kak. Seharian ini aku akan jarang lepas jilbab. Kalau kalau masih basah langsung ditutup, nanti rambutku jadi bau nggak enak. Kak Iiq lagi yang ngomel-ngomel." Alasan yang masuk akal.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang