Aku maunya meluk kamu. Aku maunya janji sama kamu untuk nggak menyakiti kamu sepanjang kebersamaan kita. Sampai salah satu dari kita lebih dulu meninggalkan dunia.
-------
Duh, aroma menyedihkan menguar tajam ini kayanya. Siapin tisu ya, mana tahu kalian bacanya sambil berlinangan air mata.
Atau siapin cemilan deh, biar nggak kerasa sedihnya karena sambil ngunyah. Haha...Air mendidih dituang ke bak
Aku bacanya sedih sih, masak kamu kagak?!
*maksa :D***
Sabtu pagi. Iqbal dan Luli baru usai mengupayakan kehadiran seorang bayi. Mood Nyonya Sya'bani sudah lebih baik dari hari sebelumnya. Begitu pula kondisi kesehatannya.
Sejak usai subuh sampai lewat jam delapan, mereka berdua masih betah di dalam kamar. Iqbal sebenarnya tak enak hati. Kalau saja mereka di Madina, tentu ia tak memikirkan apapun. Bahkan dengan senang hati jika harus berada di kamar sampai menjelang salat zuhur nanti. Tapi ini di rumah mertua, tentu saja ia punya kewajiban untuk menjaga nama.
Berbeda dengan Luli, yang sejak kemarin seolah putus urat malu di depan bapak ibu. Ia tak mau ditinggal suaminya barang semenit saja. Manjanya luar biasa.
"Neng, udah tiga jam lebih lho. Kita keluar kamar yuk. Nggak enak sama bapak ibu," ajak Iqbal.
"Ih, apa sih, Kak. Biasa aja kali. Kan kita pengantin baru. Bapak ibu juga pasti tahu. Lagian, bapak kan tenis."
"Terus siapa yang antar bapak, Neng?"
"Yaelah, Kak. Bapak kan bisa nyetir, bisa bawa motor, ada ibu juga."
"Ya tapi nggak gini juga lah, Neng. Kalau mau berdua-dua terus, kita pulang ke Madina aja." Luli cemberut.
"Ya udah, yuk, mandi dulu. Habis itu kita pulang."
"Nggak mau ah. Mandinya nanti sekalian kalau udah selesai semua."
"Eh, kamu masih mau lagi?" Iqbal geleng-geleng. Keberatan? Tentu saja tidak. Malah sebaliknya.
Dia hanya heran, sebenarnya ada apa dengan sang istri, kenapa dua hari ini sikapnya tak seperti biasa. Kalau cuma ngambekan, Iqbal sudah mulai terbiasa. Tapi kali ini mood swing Luli agak luar biasa.
"Kamu kapan haidnya, Neng?"
"Apa sih nanya-nanya haid segala?"
"Mood swing-mu dari kemarin agak luar biasa. Jujur, aku bingung ngadepinnya. Apa mungkin kamu sedang PMS?"
"Tau PMS segala. Dulu sering ngadepin mantan PMS ya?"
"Ya Allah, Neng, pikiranmu lho. Aku tuh nggak pernah ngurusin yang beginian. Baru sekali ini nanya tentang PMS, disemprot pula sama istri." Wajah Iqbal dalam mode serius.
"Nggak tau deh, Kak. Iya kali. Soalnya saya haidnya nggak teratur. Jadi nggak gitu paham dan merhatiin juga biasanya gimana kalau lagi PMS."
"Atau jangan-jangan ... kamu hamil?" seru Iqbal.
"Ya Rabb, itu lagi. Kita baru nikah seminggu lho, Kak. Kak Iiq udah pengen banget punya anak apa gimana sih?"
"Tunggu deh," kata Iqbal dengan semangat. Kemudian asyik dengan ponselnya.
"Apa lagi sih, Kak? Daripada main HP kan mending kita ke Madina sekarang."
"Ssstt, aku belajar dulu tentang ovulasi. Siapa tahu kamu hamil."
"Kak, Kakak itu insinyur, bukan dokter. Udahlah nggak usah pusing mikir begituan. Kalau nanti waktunya saya hamil ya hamil aja sih."
Luli kesal pada bahasan Iqbal yang tak beralih topik barang sejengkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Ipar
General Fiction(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dulu untuk paham cerita ini. ------- Iqbal Sya'bani (Iqbal). Dosen fakultas teknik yang brillian, tampa...