Part 2.

21.1K 1.7K 333
                                    

"Cinta bukan konstruksi. Dia seringkali datang tanpa direncana. Nggak butuh gambar, analisa, rencana anggaran, dan semacamnya."

- Menurut Iqbal -

"Tapi pernikahan itu ibarat konstruksi. Banyak hal yang mempengaruhi, agar nantinya dia kokoh berdiri. Jadi tetap butuh perencanaan, analisa, perhitungan, dan sebagainya."

- Pendapat Fikar -

-----

Kalo ngana, setuju sama siapa?

Enjoy reading :)

-----

Sejak salat zuhur berjamaah siang tadi, hati Iqbal mendadak resah dan gelisah. Pikirannya terganggu, oleh bayangan wajah Luli saat setengah basah.

Iqbal terheran. Berkali menjalin hubungan dengan perempuan, tak pernah sekalipun ia merasakan hatinya berdesir sehangat tadi. Ini, baru sekali jalan bareng, itupun tak direncana, kenapa justru malah begini kejadiannya.

Menghela napas, lantas mengucap istighfar. Entah sudah berapa kali mengulang hal yang sama. Bayangan mahasiswi yang sekaligus adik kandung sahabatnya memenuhi kepala. Alina, Cindy, Riyu, Ine, Vero, dan deretan mantan yang lain seolah tak ada lagi kenangannya. Eh, tapi memang dia tak pernah mengenang mereka semua ding!

Jarum pendek pada jam kayu kuno di ruang keluarga menunjuk tepat di pertengahan menuju angka sembilan. Iqbal mengganti sarung dengan celana jeans, menyambar jaket, lalu mencari kunci mobil di gantungan.

"Mobilmu dibawa Abah, Dek. Kalau mau pergi pakai mobil Abah aja." Uminya memberitahu.

"Pinjam mobil Umi boleh?" Iqbal menawar. Dia tak terlalu suka mengendarai SUV di jalur kota.

"Mau ke mana sih, udah malam lho?"

"Ke rumah sakit, Mi."

"Ngapain, Dek?"

"Mahasiswi Iiq tadi siang ada yang pingsan, Iiq yang bawa ke rumah sakit, terus sekarang dirawat di sana."

"Mahasiswi spesial?"

"Bukan, Mi. Ini istrinya Zulfikar, temen Iiq yang dosen arsitektur."

"Oh, yang istrinya meninggal terus udah nikah lagi sama mahasiswi kamu itu?"

"Iya, Mi, yang itu. Ini istri dia yang tadi pingsan."

"Temanmu sudah nikah dua kali lho, terus kamu kapan, Dek? Udah 28 taun, masa iya nggak pernah satu pun anak perempuan dikenalin sama abah umi?"

"Doakan segera, Mi. Insya Allah Iiq udah ketemu yang pas di hati." Iqbal kepedean.

"Siapa? Anak mana? Ada fotonya?"

"Masih rahasia, Mi. Umi sama Abah siap-siap aja ngelamarin buat Iiq."

"Sekarang juga kami siap, Dek. Kalau perlu Abah langsung ditelpon suruh pulang."

"Nggak gitu juga kali, Mi." Iqbal tertawa. Lantas berpamitan pada uminya.

Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, Iqbal tak pernah malu atau keberatan dipanggil Adek, Dek, atau Dek Iiq. Panggilan yang bahkan tetap melekat meski usia kepala tiga semakin mendekat. Ia tahu, semua itu bagian dari ekspresi sayang kakak-kakak dan orang tuanya.

Iqbal mencium tangan uminya, juga pipi kiri kanan perempuan yang telah melahirkannya.

"Hati-hati ya, Dek," pesan uminya.

"Iya, Mi. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

-----

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang