Part 1.

28.6K 1.9K 229
                                    

Kalau saja ada golongan laki-laki yang jatuh cinta pada perempuan ber-skincare air wudhu, nama Iqbal Sya'bani pasti auto-masuk di dalamnya.

- seperti biasa, ini bukan quote -

***

Mata kuliah Geologi Rekayasa masih tersisa lima belas menit, ketika handphone di meja dosen berbunyi. Nama Teksi Angkasa Andromeda terbaca di layarnya.

Iqbal Sya'bani, dosen pengampu mata kuliah tersebut, meminta izin pada mahasiswanya untuk menerima telepon. Tentu saja diizinkan. Kalaupun tidak juga dia tetap akan menerima panggilan tersebut.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Pak Iqbal. Maaf, Pak, ini Asya pingsan di lapangan. Kami harus gimana ya, Pak? Takut salah." Suara di seberang terdengar panik.

"Oke, tenang dulu. Lokasi kalian di mana?"

"Dekat proyek Andalusia, Pak."

"Ada yang bawa mobil?"

"Nggak ada, Pak."

"Oke, saya ke sana sekarang. Sambil menunggu, usahakan Asya bisa sadar. Kasih bau-bauan, basahi mukanya, apa saja."

"Baik, Pak. Jangan kelamaan ya, Pak."

"Iya, iya."

Iqbal menjelaskan dengan singkat mengenai telepon yang baru saja diterima, lalu mengakhiri kuliah, dan pergi dengan tergesa.

Lokasi yang tak jauh dari kampus membuatnya tiba tak sampai sepuluh menit perjalanan. Berharap mahasiswinya sudah siuman, tapi tampaknya tak menjadi kenyataan.

"Belum sadar?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Belum, Pak."

"Bawa ke mobil saya. Zulfa, kamu ikut ke klinik." Iqbal memberi instruksi. Menunjuk Luli, sebagai sahabat Nara sekaligus satu-satunya perempuan yang tersisa di kelompok, untuk menyertainya.

Tiga orang mahasiswa bergegas melaksanakan arahan sang dosen. Luli mengemasi tasnya, juga tas Nara, lalu mengambil langkah lebar menuju HRV putih yang terparkir tak jauh di hadapannya.

"Heh, Nar, bangun, Nar. Malu-maluin bener sih, pake pingsan segala." Di baris belakang, Luli sibuk menepuk pipi Nara sambil berulang menyebut nama sahabatnya.

"Jangan begitu, Zulfa. Dia juga pasti nggak pengen pingsan. Lagian, dia yang pingsan kenapa kamu yang malu?"

"Ehk, ya habis nggak biasanya dia begini, Pak."

"Apa dia belum makan?"

"Siapa, Pak? Nara?"

"Ya."

"Nggak tau sih, Pak. Tapi dia disiplin kok bab makan. Apalagi ada Mas Fikar, bisa ceramah dia kalo istrinya makan nggak tepat waktu."

"Oh iya, kamu adiknya Zulfikar kok ya."

"Iya, Pak."

"Sudah ngabarin kakakmu?"

"Astaghfirullah, belum, Pak. Saya nggak kepikiran."

"Oke, biar saya yang telpon dia."

Iqbal meraih gawainya, menghubungi Fikar untuk mengabarkan kondisi istrinya. Suara di seberang terdengar sedikit panik, tapi tetap berusaha tenang.

"Bisa panik juga ini orang," batin Iqbal. Ia tersenyum membayangkan wajah sahabatnya, yang sepanjang perkenalan mereka tak pernah sekalipun menunjukkan kepanikannya.

"Apa dia sering pingsan gini?"

"Siapa, Pak? Nara?"

"Iyalah, masa Zulfikar."

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang