Part 28.2.

11.7K 1.2K 274
                                    

Ketika sesuatu terasa tak mungkin lagi diperjuangkan, maka melepaskan adalah hal terbaik yg bisa dilakukan.

***

Notes:
- Siapin tisu. Karena setelah part kemarin yg banyak ketawanya, part ini banyak sedihnya. Setidaknya buatku
Gak apa-apa yaaa :)

Enjoy reading.

***

Iqbal telah menyampaikan pada Luli tentang Pipit yang bersedia menemuinya, dan wajah Luli menampakkan rasa senang yang luar biasa. Iqbal benar-benar tak habis pikir. Ia hanya berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri, ini mungkin bagian dari pengaruh hormonal. Tekadnya makin besar, untuk tetap bersabar menghadapi Luli dengan segala keajaibannya, yang sayangnya tidak diakui dunia.

Seharian itu Iqbal lebih banyak diam. Berkebalikan dengan Luli yang terlihat menjalani hari dengan penuh keriangan. Luli tak tahu, suaminya setengah mati menahan kekhawatiran dan berbagai dugaan. Apa sebenarnya yang direncanakan Luli? Benarkah hanya bertemu tanpa ada maksud tertentu?

Di sisi lain, Iqbal merasa Luli bukan orang yang suka menyimpan maksud tertentu. Apalagi maksud yang tidak baik.

Astaghfirullah hal adziim.

Untuk kesekian kali ia melantunkan istighfar dalam hati. Sulit sekali menghilangkan prasangka buruk pada sang istri.

"Kak."

"Iya?"

"Dari tadi kok banyakan diem sih? Tumben banget."

"Kamu nggak ada niat untuk berubah pikiran, Neng?"

"Soal apa nih?"

"Soal ketemuan itu."

"Sama Pipit?"

"Dia jauh lebih tua dari kamu, Neng. Panggillah Kak, Mbak, atau semacamnya."

"Cieee, nggak terima."

"Kamu kenapa sih, Neng?"

"Harusnya saya yang nanya, Kakak tuh kenapa sih? Mau ketemu mantan terindah bukannya seneng malah gelisah."

"Aku nggak gelisah, Neng. Dan dia bukan mantan terindah. Nggak ada lah kayak gitu. Aku cuma nggak paham, apa sebenarnya yang kamu inginkan dari pertemuanmu dengan dia."

"Dia? Dia siapa? Dia kan punya nama."

"Sudahlah, Neng. Nggak usah kekanakan begitu."

"Kakak masih ada rasa kan sama dia?"

"Nggak ada. Kamu boleh lihat mataku kalau tak percaya." Iqbal mendekat, mengangkat dagu Luli agar menatap tepat ke matanya.

"Aku sayang kamu, Neng. Aku cinta kamu. Apa masih ada keraguan di hatimu? Aku harus apa biar kamu percaya?"

Luli berusaha mengalihkan pandangannya. Ia tak kuat. Nyatanya ia tak menemukan sedikit pun kebohongan di mata suaminya.

"Aku belum menyuruhmu berpaling dari mataku, Neng." Iqbal meraih kedua pipi Luli, membawa kembali mata itu agar menatap pada matanya.

"Apa yang kamu inginkan dari pertemuan itu? Apa kurang penjelasanku padamu? Please, jangan melakukan sesuatu yang itu berpotensi menyakiti hatimu sendiri."

"Hati saya atau hati Pipit?"

"Kalian berdua. Tapi yang penting untuk kujaga adalah hatimu. Perasaanmu."

"Pipit?"

"Dia punya hati yang kuat. Dia tahu aku tak lagi punya kewajiban menjaga hatinya sejak hari aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Dia bukan seorang yang cengeng."

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang