Part 24.

13.8K 1.3K 226
                                    

Apalagi sejak ada dia, Mi. Ngopi sambil ngeliatin dia tuh udah pas banget manisnya.

***

Gombalmu lho, Iq, gak habis-habis :D

------

- Rada panjang, tapi ya gitu deh. Seperti biasa, banyak ngalor ngidul nggak jelasnya. Hehe.
- Masih lanjut cerita tentang abah dan umi, kali ini dari versi umi.

Ke sekolah bawa odading
Yuk lah, enjoy reading :D

-------

Iqbal keluar dari kamar dengan bersarung dan baju koko yang rapi. Sebuah songkok berukirkan namanya bertengger di kepala, menaikkan level kegantengan yang memang sudah nyaris maksimal. Menenteng sajadah beludru hitam polos, ia siap mengambil peran muadzin untuk memanggil para pejuang subuh.

"Mau ke langgar (surau), Dek?" tanya umi.

"Iya, Mi. Gimana?"

Umi mendekat, lalu berbisik, "Acaranya sama Neng Zulfa udah jadi?"

"Acara apa, Mi?" Iqbal mengerenyit bingung.

"Itu, acara talkshow." Umi masih berbisik.

"Talkshow?" Si anak bungsu makin bingung.

"Iya. Mulutnya talk, tangannya show."

Iqbal terpingkal-pingkal. Ia paham maksud uminya.

"Astaghfirullah. Ya Allah, Mi. Bahasanya lho gitu amat. Mulutnya meracau tangannya mengacau ya, Mi?"

Ganti uminya yang terbahak. Mengeplak muka Iqbal pelan.

"Pancen ngawur bocah iki, malah dicethak-cethakke."
(Memang ngawur anak ini, malah dijelas-jelasin.)

"Umi yang mulai."

"Iya deh iya. Neng Zulfa udah bangun?"

"Udah, Mi. Itu lagi keramas. Eh, maksud Iiq lagi mandi." Umi tertawa lagi.

"Udah ah, Mi, ketawa terus. Umi tadi mau ada perlu apa sama Iiq?"

"Oh, itu. Nanti habis subuh umi mau bicara, bisa?"

"Bisa banget, Mi. Apapun buat Umi yang paling Iiq sayangi dunia wal akhirat."

"Masya Allah. Makasih ya, Dek." Umi meraih pipi anaknya, Iqbal menunduk mendekatkan wajah pada umi agar umi mudah menciumnya.

"Iiq yang terima kasih sama Umi. Iiq sayang sama Umi. Iiq ke langgar dulu ya, Mi. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Nanti di kamar kamu saja ya, Dek. Neng Zulfa biar sekalian dengar. Kamu izin sama abah kakung kalau habis subuh mau ngobrol sama umi, gitu ya."

"Siap, Mi."

Selepas subuh umi mengetuk pintu kamar yang ditempati Iqbal. Luli yang membuka pintu. Masih mengenakan mukenanya.

"Udah selesai solat, Neng?"

"Udah, Umi."

"Lagi baca Qur'an ya?" tanya umi lagi. Ia melihat sebuah mushaf terbuka di atas kasur.

"Iya, Umi."

"Ya udah dilanjutin aja. Umi temenin."

"Eh, malu, Umi. Saya ngajinya nggak sebagus Kak Iiq."

"Umi juga nggak sebagus Iiq kok. Ayolah, umi simak."

Mau tak mau Luli membaca Qur'annya di hadapan umi. Pujian meluncur dari sang ibu mertua. Dari komentar tentang suara dan cengkok Luli, sampai ungkapan rasa beruntung karena memiliki Luli sebagai menantunya. Jangan tanya bagaimana hati Luli. Berbunga-bunga dan bahagia.

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang