"Namanya Zulfa, Pak. Bukan Oneng."
- Apa lagi lah ini?!
***
Makan pakcoy dicampur beling,
Enjoy reading------
Usia pernikahan Luli dan Iqbal telah memasuki pekan ketiga. Warga teknik sipil masih belum banyak yang tahu. Atau mungkin belum banyak yang angkat bicara saja?
Selama itu pula Luli selalu dilanda kecemasan dan kekhawatiran. Apalagi saat ia mendapatkan tatapan-tatapan aneh dari warga jurusannya. Hatinya auto menciut.
Di kelas pun tak beda. Pada Rere dan Andro ia menjadi canggung. Rere memang menjaga jarak, selain sering menghadiahinya dengan tatapan sinis. Tapi tidak demikian dengan Andro, ia masih bersikap seperti biasa pada Luli. Bahkan tak jarang perhatian-perhatian kecil masih ia berikan. Nekad memang.
Rabu pagi itu Luli masuk kelas dua menit sebelum jam kuliah dimulai. Disusul dosen pengampu yang datang tepat dua menit berikutnya.
"Assalamualaikum," sapa sang dosen begitu masuk ruangan.
"Waalaikumsalam, Pak Iqbal." Seluruh penghuni kelas menjawab lugas.
Ya, dosen yang mengampu kelas Luli pagi itu adalah Iqbal Sya'bani, suaminya. Setelah dua pekan berturut-turut tak hadir di kelas karena urusan dinas, sambutan pagi ini sungguh sangat antusias.
"Selamat pagi, teman-teman semua. Gimana kabarnya kalian?"
"Baik, Pak."
"Sehat, Pak."
Dua jawaban terbanyak yang keluar dari mayoritas penghuni kelas.
"Patah hati, Pak," teriakan Yudi yang beda sendiri menimbulkan kasak kusuk pada sebagian temannya.
"Ya, gimana, Wahyudi? Mau saya kasih izin buat menyambung hatimu dulu?" Iqbal sok-sok tak paham. Yang lain terbahak menertawakan.
"Hati saya baik-baik saja, Pak. Tapi ada beberapa hati lain yang terluka." Sebagai kawan dekat Andro, tentu dia mengerti apa yang terjadi.
Suara huuu bersahut-sahutan. Sebagian tertawa. Satu orang dilanda ketegangan luar biasa.
"Oh iya, dan ada satu hati yang diam-diam berbahagia, Pak." Lanjut Yudi lagi. Matanya menatap ke arah salah satu temannya. Siapa lagi kalau bukan Zulfa Nurulita.
"Alhamdulillah. Paling tidak ada dua hati yang berbahagia, itu sudah cukup buat saya untuk memulai kuliah pagi ini."
"Satu, Pak." Yudi meralat ucapan dosennya.
"Dua, dengan saya." Iqbal melempar senyum yang tak biasa. Istimewa. Manisnya mengalahkan gula stevia.
Kelas kembali gempar.
"Butuh klarifikasi, Pak."
"Lebih cepat lebih baik."
Kelas masih ramai. Hanya Luli yang gelisah sampai telapak tangannya basah. Keringat dingin sudah berlelehan di seputar keningnya yang tertutup jilbab merah muda. Jangan tanya jantungnya, detaknya bagai di arena pacuan kuda. Ia menunduk dalam, sama sekali tak ada nyali menatap sekelilingnya.
"Kalian pilih mana? Ketinggalan berita atau ketinggalan materi?"
"Materiii." Satu ruangan serempak menjawab. Dosennya menggeleng sambil tertawa.
"Wah, kalah pintar saya. Kalau ketinggalan materi yang disalahkan sama kampus kan saya ya, bukan kalian. So ...."
"Jangan, Pak. Kita belajar saja, nggak perlu klarifikasi." Nara menyampaikan pendapatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Ipar
General Fiction(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dulu untuk paham cerita ini. ------- Iqbal Sya'bani (Iqbal). Dosen fakultas teknik yang brillian, tampa...