20. Takdir baik atau takdir buruk

6.5K 2K 223
                                    

"Aku gak papa, Mas. Jangan nangis."

Zul menyeka air matanya dengan punggung tangan yang tak ternoda darah. Lain dengan kedua telapak tangannya yang sudah berlumur cairan merah berbau amis itu karena tadi Immanuel menyuruhnya untuk menekan luka tembak di balik punggung kanan Zulfa supaya pendarahannya terhenti. Sedangkan Immanuel menyetir mobil menuju rumah sakit.

Setelah Zulfa dibaringkan dengan aman di atas brankar, seorang dokter menggantikan tugas Zul untuk menahan pendaharan itu. Brankar tersebut didorong masuk menuju ruang UGD yang dekat dengan pintu masuk.

"Mas juga harus obatin luka Mas."

Zul menggeleng. Lukanya hanya berupa goresan ringan karena terkena pisau. Lain dengan Zulfa. "Harusnya kamu biarin aku yang kena-"

"Mas, aku pasti baik-baik aja. Tunggu, yah," ujarnya lembut sampai akhirnya masuk ke dalam ruangan. Seorang suster menahan Zul agar tidak mengikuti ke dalam.

Immanuel yang turut mengikuti kini menghela napas berat. Ia menepuk pundak Zul dan mengusapnya beberapa kali. Berusaha menegarkannya.

Pria itu menangis. Bukan kali pertama Immanuel melihat Zulfan menangis. Dan alasan pria ini masih sama, yakni karena istrinya. Wanita yang ia cintai.

Padahal, Zulfa yang terluka saja tidak merengek sedikit pun. Wanita itu malah tersenyum dengan bibir pucatnya, berusaha memberi ketenangan pada sang suami.

"Zulfa pasti baik-baik aja."

"Harusnya saya yang kena tembak."

"Seperti kamu yang mau dia baik-baik aja, dia pun mau kamu baik-baik aja. Pengorbanan dalam cinta itu bukan hal aneh meski kadang kelihatan bodoh."

Zul menatap Immanuel, mengerjap sekali lalu menghela napasnya. Kemudian dia berjalan mendekati tempat duduk dan terduduk di sana bersama Immanuel di sampingnya. Menyeka pipinya lagi, pria itu kemudian menoleh ke arah Immanuel.

"Tadi gak kena titik vitalnya kan?"

"Enggak. Kamu tenang aja."

"Terus orang-orang tadi?"

"Udah diurus anak buah saya."

"Dibawa ke kantor polisi?"

"Udah diurus." Hanya itu jawaban Immanuel. Udah diurus. Yang Zul yakin diurus dengan cara Immanuel sendiri. "Gak perlu dipikirin. Paling mereka begal," lanjutnya.

Ingatan Zul mengulang sejenak kejadian menegangkan tadi. Begal yah? Begal orang indonesia sepertinya sudah upgrade pake bahasa inggris.

Beberapa kali mobil Zul ditabrak dari arah belakang. Bahkan mobil hitam di belakangnya itu sudah berani mengklakson beberapa kali. Seakan menyatakan kebenaran kalau mereka sedang mengincar mobilnya.

Kembali mobil Zul bersebelahan dengan mobil para penjahat itu. Kali ini sang pengemudi membenturkan mobilnya dari samping. Kalau tidak berhenti, kejadian seperti ini pun tidak akan berhenti. Namun Zul tidak bisa mempertaruhkan nyawa Zulfa. Jika mereka tidak membawa senjata tajam, mungkin Zul masih bisa melawannya. Tapi kalau mereka bawa, apa yang bisa ia lakukan?

"Mas, kita berhenti aja."

"Mas takut mereka bawa senjata tajam."

"Gak papa. Kita tanya apa mau mereka. Sekarang kita udah terdesak, aku gak mau jatuh ke jurang." Zulfa menatap horor ke arah jurang di sisi kirinya.

"Jangan ngomong kaya gitu! Oke, Mas berhenti."

Mobil Zul pun berhenti, sementara mobil hitam itu terparkir memalang di depan mobilnya. Zul menarik napas panjang, lalu keluar bersama beberapa orang yang keluar dari dalam mobil di depannya.

Zul [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang