31. EPILOG [END]

14.8K 2.2K 1.8K
                                    

Jangan lupa setelahnya baca author notes di bawah! Ada info terbit dan spoiler versi novel.

Ada 8.032 kata yang kutulis di part epilog ini. Kalau dipecah bisa jadi 5 part tapi aku memilih untuk menyudahi di part 31 aja.

Jadi kalo gak keberatan, jangan lupa vote dan tinggalkan komen sebanyak yang kalian bisa, yah. Karena ini adalah komen terakhir yang bisa kalian kasih ke cerita Zul.

Selamat membaca 🌼

Dan selamat mengakhiri kisah ini 🔥

🌟🌟🌟









DOR

DOR

Suara tembakan senjata laras panjang itu menggema berkali-kali dan tak pernah sekalipun meleset dari target terbang yang dilempar oleh mesin yang terletak jauh di lapangan. Itu bukan lagi pemandangan baru bagi Zul. Dalam kurun waktu beberapa bulan ini, dia sudah sering melihat betapa kerennya Immanuel saat sedang menembak. Dan tak pernah meleset. Padahal target yang ditembakinya terbang di udara.

Zul berdiri sambil bertopang dengan senjata laras panjang miliknya, masih sibuk memperhatikan Immanuel yang jelas sedang tidak bisa diganggu. Saat ini mereka memang sedang ada di lapangan tembak pribadi di kediaman Immanuel. Berawal dari beberapa bulan yang lalu, saat Immanuel mengajaknya mengisi waktu luang untuk belajar menembak biar gak julidin orang terus.

Sekarang kegiatan tersebut jadi kegiatan rutin dua minggu sekali. Kalau pun Zul tidak mau, Immanuel akan menyeretnya dan itu akan jadi pemandangan menyedihkan karena Zul tidak bisa memberikan perlawanan. Bukan, bukannya takut durhaka atau takut sama Immanuel. Dia gak bisa ngelawan emang karena gak bisa, kaya anak kucing yang diseret keluar dari rumah. Gak bisa ngelakuin apa-apa. PASRAH.

Pria yang tiga minggu lagi akan resmi menjadi seorang kakek itu membuka penutup telinganya, lalu berbalik dan berjalan ke arah Zul.

"Kamu berhasil nembak tujuh kali tanpa meleset, saya beliin Ferrari."

"HAH."

Zul hampir terjungkal kalau saja tidak berpegangan senapan laras panjang itu. Matanya saja bahkan hampir melompat.

"SERIUS ABI?" tanyanya antusias, seperti anak kecil yang diiming-imingi mainan baru.

"Serius. Tapi tujuh kali harus berturut-turut, jangan meleset," kata Immanuel, membuat Zul ragu kalau ia akan berhasil.

Tapi tidak ada salahnya mencoba.

Zul pun maju, ke tempat Immanuel tadi berdiri. Sementara Immanuel berdiri di belakangnya sambil melipat tangan di bawah dada. Beda dengan Zul yang tadi bersandar pada senjata laras panjang itu, Immanuel malah menyandarkan benda tersebut padanya.

DOR

Immanuel tersenyum tipis pada tembakan pertama yang tak meleset itu. Zul memberi kode lagi agar target kembali dilempar. Dia terus berhasil sampai tiba di target kelima... Zul meleset. Bahunya langsung meluruh, membuat Immanuel terkekeh karena pemuda itu tak jadi dapat "mainan" baru.

***

Sshhh

Suara minuman kaleng bersoda itu menyeruak ke telinga saat segelnya dibuka. Orang iseng yang membukanya tadi sempat mengocoknya sehingga airnya kini tumpah sampai ke tangan dan jatuh ke rumput.

"Udah tahu bakal tumpah, kenapa kamu kocok dulu sebelum dibuka?" tanya Immanuel yang tak habis pikir dengan kelakuan menantunya itu.

Dan jawaban Zul sungguh sangat kekanak-kanakan. Dia bilang, "Seru aja liatnya."

Zul [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang