22. Isi hati

7.3K 2.1K 603
                                    

Zul sekarang tahu mengapa bapaknya merasa curiga. Itu karena tangannya yang terluka lebih besar dari tangannya yang tidak terluka. Jelas saja, pasalnya tangannya yang satu dibalut dengan perban, sedangkan yang satunya tidak. Ah, harusnya Zul minta dua-duanya saja diperban.

Jadi karena sudah terlanjur ketahuan, dan tidak mungkin berbohong lagi karena jika sekali berbohong, ia harus berpikir untuk memberikan kebohongan lainnya, dan Zul orangnya males mikir, makanya sekarang dia harus jujur. Maksudnya, jujur versi Immanuel.

"Kita dibegal."

"APA?"

Nah, belum apa-apa mata bapaknya udah mau keluar aja.

Zul mengusap-ngusap lengan sang ayah. "Tenang dulu, Pak."

"Gimana bisa tenang? Kenapa kamu malah bilang Zulfa kepeleset di kamar mandi? Bohongnya gak keren banget."

"Karena Zulfa gak mau bikin bapak sama emak khawatir."

Idris menghela napas panjang. Ia mundur beberapa langkah agar bisa duduk pada kursi di taman rumah sakit itu. Lalu membuka sebungkus permen jahe kesukaannya untuk sedikit mengurangi ketegangan.

"Tangan kamu kenapa?" tanyanya, setelah sedikit lebih tenang.

Zul ikut duduk di sebelahnya dan bersiap cerita. "Kena pisau yang mereka bawa."

"YA ALLAH."

"Bapak tenang dulu."

Tenang Pak, ini belum apa-apa.

"Kuat gak sih dengerin Zul cerita?" tanya Zul memastikan. Soalnya dia lihat bapaknya udah megap-megap, kaya ikan bapaknya yang loncat dari akuarium. Zul jadi takut lihatnya.

"Udah cepet cerita aja! Bapak harus tau apa yang terjadi sama anak-anak bapak. Orang tua macem apa yang mau pura-pura gak tau anaknya kenapa-napa."

Ah, kadang-kadang omongan bapaknya emang nyentuh banget. Gak kalah lah sama mertuanya.

"Terus Zulfa kenapa? Bayinya gak papa?"

"Bayinya gak papa. Zulfa juga sekarang udah gak papa. Cuma disuruh istirahat aja."

"Alhamdulillah kalo gitu. Istri kamu pasti syok banget."

Zul lebih syok, Pak. Karena istri Zul ternyata beneran wonder women.

Idris bangkit dari duduknya. Zul menghela napas lega karena sepertinya bapaknya lupa bertanya ulang mengenai penyebab Zulfa berbaring di rumah sakit. Zul pun ikut berdiri, tapi kelegaannya tadi tidak bertahan lama.

"Tapi kenapa Zulfa sampai harus dirawat berhari-hari?"

"Oh, itu... Gini... Gitu."

"Kamu ngomong apa?"

"Jadi gini, Pak... Ya gitu."

"Zulfan!"

Aduuuhh, Zulfan gak sanggup. Zulfa ditembak. Masa bilang begitu? Kalo bapaknya jantungan gimana?

"Jadi, Pak... Abi Immanuel yang minta. Zulfa biar banyak istirahat di rumah sakit. Soalnya kalo di rumah dia gak mau diem."

Alhamdulillah, Idris ngangguk-ngangguk percaya. Tapi haruskah Zul bersyukur dengan menyebut nama Allah saat baru saja dia mengucapkan kebohongan?

Berdosa sekali rasanya.

Meski dosa Zul udah banyak. Tapi bukan berarti dia mau nambah gunungan dosa lagi.

"Enggak ding, Zul bohong."

Zul emang anak berbakti. Patut dicontoh sisi positifnya.

"Ha?"

Zul [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang