18. Momen manis (1)

9.5K 2K 319
                                    

Yang pernah Zul dengar, hidup itu hanya sekali. Jadi kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Apapun yang membuat kita bahagia, ya lakukan saja. Yang penting tidak merepotkan orang lain atau membuat rugi diri sendiri. Jangan terjerumus dengan kesenangan sesaat yang pada akhirnya meninggalkan penyesalan seumur hidup.

Hidup itu sebenarnya sederhana jika tidak dibuat rumit. Bersamalah dengan orang-orang yang membuat kamu merasa bahwa sempurna itu bukan keharusan, bahwa kekurangan dan kesalahan tidak perlu terlalu diributkan. Bersamalah dengan orang-orang yang tidak menghakimi masa lalumu yang buruk. Bersamalah dengan orang-orang yang tidak hanya menerimamu apa adanya, namun juga yang mau sama-sama menjadikan diri lebih baik dari hari ke hari.

Maka, hidupmu tidak akan menjadi rumit. Maka, masalahmu tidak akan menjadi besar. Maka, mendapatkan kebahagiaan bukan hal yang begitu sulit.

Lalu, hindari orang-orang yang suka memberi komentar buruk pada hidupmu. Lagipula, untuk apa mendengarkan komentar manusia yang bahkan tidak bisa mengurusi hidupnya sendiri tapi malah mengurusi kehidupan orang lain? Mereka sangat menyedihkan, bukan?! Jadi tidak perlu didengarkan. Itulah yang selama ini Zul pikirkan. Itulah enaknya jadi orang yang "masa bodo" dengan pandangan orang lain.

Selama ini, Zul memang tidak terlihat seperti manusia yang bahagia. Tapi setidaknya, ia tidak pernah mendapat masalah dengan orang lain. Atau lebih tepatnya, hal itu terjadi sebelum ia bertemu dengan Zulfa.

Karena detik ketika takdir mempertemukannya dengan belahan jiwanya itu, hidupnya berubah total. Dan biang keroknya adalah mertuanya.

Tapi, mari singkirkan Immanuel sejenak. Karena sore ini, Zul ada janji jalan-jalan sama bidadarinya. Jadi, Zul yang baru selesai mandi dengan handuk yang digulung-gulung di atas kepala —seperti yang sering Zulfa lakukan atau yang biasa Zul bilang "tai bebek"— kini bertanya pada Zulfa yang sedang duduk di kursi meja riasnya.

"Kita mau ke mana, Yang?"

"Udah, Mas sopirin aja, nanti aku yang tunjukin jalan."

"Siap, Nyonya."

Zulfa tertawa sambil memutar dirinya menghadap ke arah sang suami. Dilihatnya Zul sudah melepas gulungan handuk dari atas kepalanya, sambil berjalan menuju ruangan berisi pakaiannya, pria itu menggosok rambut basahnya dengan handuk, sampai akhirnya Zulfa tidak bisa melihatnya lagi.

"Mas, Abi kok belum pulang, yah. Kayaknya dia pergi dari semalem. Abi ada hubungin Mas, gak?"

"Enggak, tuh. Mungkin Abi lagi merenung. Bentar lagi kan umurnya nambah. Siapa tau pas balik, dia jadi baik sama aku."

"His, serius sih, Mas."

"Aku gak tau, Sayaaang."

"Semalem kan kalian makan malem berdua. Ngobrolin apa?"

Zulfa tidak mendengar jawaban sang suami. Karena itu Zulfa dibuat semakin penasaran dengan apa yang terjadi semalam. Karena sungguh, ayahnya benar-benar aneh hari ini. Dan seumur-umur, baru kali ini ayahnya bersikap aneh.

"Mas kok gak jawab? Ada apa-apa yah?"

"Gak ada apa-apa," jawab Zul yang muncul dalam keadaan sudah berpakaian kasual. Dia berjalan mendekat ke arah meja rias, lalu mengambil sisir. "Atau nanti kamu bisa tanya sama Abi kalau dia udah pulang. Sekarang pikirin aja mau jalan-jalan ke mana, aku gak pernah kencan dan bukan anak gaul. Jadi gak bisa tunjukin kamu tempat-tempat hits yang biasa anak muda datengin."

Senyuman geli Zulfa terpantul di cermin, sementara pandangannya kini fokus pada pantulan paras tampan suaminya yang sosoknya sedang fokus mengubah-ubah gaya rambut. Sekarang Zul sedang membelah dua tambutnya, lalu dirubah lagi dengan disisir ke sisi kanan semua. Zul angkat sisirnya sebentar. Tapi lagi-lagi Zul geser rambutnya, kali ini ke kiri. Zul angkat sisirnya lagi. Dan Zulfa tahu kalau suaminya takkan berhenti melakukan hal konyol itu.

Zul [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang