Bab 02 : Senin, Bos Besar & Mood Baik

458 70 6
                                    


"Selamat pagi, Pak. Apa kabar?" tanya Zainal dari balik komputer yang sudah menyala.

"Selamat pagi juga, Nal. Kabar baik." Raka langsung curiga saat Zainal menyapa dengan senyum terkembang sempurna. Kepalanya bahkan sampai miring-miring mencarinya. "Ramah bener. Pasti ada kerjaan yang nggak beres, ya?" Telisik Raka setelah mendaratkan pantatnya.

"Nggak baik Pak, punya pikiran negatip begitu...." Zainal mempertontonkan wajah tersinggung sebelum melanjutkan kalimatnya. "Habis libur panjang wajar kalau sambutannya agak meriah."

"Cuma beberapa hari liburnya. Sudah kamu kerjakan yang aku minta sebelum liburan kemarin?"

"Beres...."

"Terakhir kamu bilang begini, setengah jam berikutnya pinjam duit. Sekarang apa lagi coba? Mau kasih aku duit?" Raka membalas senyum Zainal dengan tidak kalah lebarnya.

"Ketebak banget niatnya. Bapak memang cenayang paling tangguh di belantara perdukunan Indonesia."

"Intana mana?" potong Raka cepat saat menyadari ruangannya masih hening.

Zainal kembali duduk dengan malas, tetapi pandangannya masih lekat kepada Raka. "Boker. Kebiasaan dari awal masuk kerja sampai sekarang nggak pernah berubah, Pak. Selalu boker di kantor. Curiga biar saptic tank di rumahnya nggak cepat penuh jadi dia setornya ke sini. Bapak nggak nyadar, ya?"

"Dasar tukang gosip. Ini lagi sakit perut beneran. Bukan gaya-gayaan biar bisa izin pulang cepat kayak kamu." Pandangan Intana tertuju kepada Zainal dan saat menemukan Raka sudah duduk di tempatnya, Intana langsung memasang wajah sungkan. "Eh, Bapak sudah datang juga. Selamat pagi."

"Selamat pagi, Tan. Setengah jam lagi kita briefing sebelum Bos Besar datang. Jangan sampai dia marah seperti bulan kemarin atau kita bertiga bakal dicincang. Kalian nggak mau kan, kalau sampai bonus akhir tahun dicoret? Jadi, sekarang minta tolong siapkan laporannya. Yang kemarin aku cek, masih ada beberapa typo. Terutama laporanmu, Nal." Raka sengaja mempertajam pandangannya.

"Sebentar lagi saya siapkan. Tinggal sedikit lagi," jawab Intana cepat, seraya melangkah ke tempatnya dan segera menghidupkan komputer.

"Gantian saya yang mules dengar kata bonus dicoret. Permisi juga," Zainal buka suara dan memegangi perutnya menuju toilet.

Senin pagi setelah libur panjang otomatis membuat Raka dan tim kelabakan. Mereka wajib memberikan laporan penjualan yang sudah mereka kerjakan sejak selasa pagi hingga tengah malam dengan berkali-kali revisi karena belum menemukan formula yang tepat untuk menjelaskan data penjualan kuartal pertama yang diminta bos besar.

Mereka menyebut kepala divisi marketing & promotion dengan sebutan bos besar, karena selain ukuran celananya yang besar, dia juga sebagai pengambil keputusan yang tidak segan memotong bonus anak buahnya jika dirasa tidak dapat dikendalikan. Bos Besar Terkutuk, nama lengkapnya.

Tok... tok... tok....

"Masuk!"

"Bapak panggil kami?"

"Ya. Duduk."

Hanya Raka yang memilih duduk di depan bos besar, sementara yang lain berdiri di belakangnya dengan jantung berdetak cepat, sebelum bos besar menyuruh Zainal dan Intana mengambil kursi. Keringat dingin pun tercetak jelas di kening keduanya.

Saat ketegangan semakin terasa, bos besar sedang sibuk membaca laporan yang setengah jam lalu diberikan oleh Intana atas perintah Raka, setelah membacanya dua kali.

Tiba-tiba, bos besar mendongak. "Kalian tahu kenapa saya panggil?"

Mampus.

"Diminta untuk membuat laporan pendapatan kuartal pertama, sekaligus rencana kerja untuk kuartal kedua dan ketiga. Selain itu, estimasi pendapatan dan strategi penjualan tahun depan, termasuk promosi karena pasar sedang lesu. Saya sudah jabarkan di laporan, semisal menyasar kelas menengah ke bawah dan mahasiswa yang masih terabaikan. Untuk pengaplikasiannya, tinggal tunggu mandat dari Bapak," Raka menjelaskan rencana kerjanya dengan runut sehingga ketenangan terasa melingkupi ruang kerja bos besar yang didesain mirip hutan rimba di satu sisi tembok, serta pengharum ruangan beraroma kopi seperti di coffee shop.

Lembar demi lembar laporan yang sebelumnya dibalik dengan suara pelan di atas meja kaca, mendadak berima mengikuti kalimat Raka yang sedikit lugas setiap kali membahas laporan dengan bos besar. Lambat laun, seperti suara sobekan kertas kalau saja bos besar tidak menghentikannya tepat pada tabel angka yang tercetak.

Suasana ruangan yang panas karena AC mati, menambah keangkeran tatapan bos besar kepada mereka bertiga.

"Lalu, apa yang kalian kasih ke saya ini?"

Deg....

Bos besar menunjuk satu lembar kertas berisi laporan pendapatan bulan Maret di tahun yang sama.

Spontan, Raka menjulurkan kepalanya untuk memeriksa. "Maaf Pak, saya cek sebentar." Raka meraih laporan dan memeriksanya kembali. Intana yang berada di belakang Raka ikut membaca.

"Mati aku kalau begini terus. Bonus bakal melayang kalau bikin Bos Besar marah atau minimal lembur seminggu penuh kalau mood-nya lagi baik." Intana membatin dan rasanya semakin tidak keruan saat ia tak juga menemukan apa yang dimaksud oleh bos besar.

"Butuh waktu berapa lama buat kalian sadar kalau laporan ini ada yang salah? 24 jam, cukup?"

Berganti Zainal yang menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal saat mendengar perkataan bos besar yang tidak enak di telinga. Ia merasa tidak berguna, sementara Intana yang di sebelah Zainal, menyerah mencondongkan kepalanya. Dia berharap Raka dapat menemukan apa yang bos besar mau. Menemukan solusi dan tidak menyeretnya kembali ke kubangan lembur tiada akhir.

Semua orang tahu, belum ada seorang pun yang kinerjanya memuaskan di mata bos besar. Semua orang dianggapnya tidak becus, selalu mengungkit kesalahan dan tidak pernah mengapresiasi apa pun yang dikerjakan oleh anak buahnya, meski mereka sudah bekerja semaksimal mungkin. Raka sudah kenyang dengan makian bos besar, sementara yang lain berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyumpah.

"Maaf Pak, saya rasa pekerjaan kami semua sudah benar. Semua sudah tercantum dalam laporan karena saya sendiri yang memeriksanya. Jadi, saya rasa tidak ada yang terlewat dari data yang kami berikan ke Bapak. Kalau memang ada kesalahan, mohon informasinya," Raka akhirnya buka suara setelah meneliti laporan yang dipegangnya selama lima menit.

"Yakin?"

"Pertanyaan itu kenapa muncul lagi?" Raka membatin. Ia mencoba mengingat apa yang terlewat dan sepertinya tidak ada.

Yakin?

Pertanyaan klasik yang sebenarnya bos besar tahu jawabannya. Dia hanya suka mengecoh karena tidak sekali atau dua kali melakukannya, sampai Raka hapal dengan kelakuannya. Apalagi, ketika bos besar tersenyum seperti menunggu mangsa terpojok dan ia bisa meringkusnya dengan satu gigitan di leher.

"Kamu yakin?" ulang bos besar.

Ingin rasanya Intana menarik lepas rambut bergelombang milik bos besar yang disisir rapi ke samping. Namun, ia terus menjepit jari-jari tangannya agar tidak melakukannya atau ia akan menambah satu masalah lagi yaitu kekerasan dalam lingkungan kantor. Dan sanksi-nya tidak main-main. Dikeluarkan secara tidak hormat.

"Yakin, Pak."

Bos besar tertawa tanpa diminta, sementara yang lain hanya memperhatikan.

"Bagus. Saya suka dengan orang yang benar-benar bekerja dengan giat dan berani mengemukakan pendapatnya dengan baik. Meski didesak untuk melanggar, tapi tetap konsisten dengan jawaban yang diyakini. Jawaban kamu bagus."

"Konspirasi macam apa ini, sampai-sampai Bos Besar ketawa. Luar biasa." Zainal membatin, mengalihkan perhatiannya kepada Intana yang sama-sama bingung dan mulai berpikir macam-macam melalui sorot mata mereka yang tajam.

"Nggak salah, nih? Bos Besar muji sepagi ini? Nggak mungkin. Pasti ada kesalahan besar sampai-sampai Bos Besar bohong. Kalau nggak, pasti dia lagi gegar otak. Jangan-jangan, sebelum ke sini kepalanya kebentur aspal." Intana mencoba menimpali ketika pandangannya terantuk Zainal. Mereka seolah sedang bertelepati.

"Ya sudah." Tunjuk bos besar kepada Raka, mengebaskan tangannya pelan sejurus dengan pintu keluar. "Saya lega bisa ninggalin kantor kalau kalian kerja sebagus ini." Bos besar berdiri dari singgasananya. "Kalau tidak ada pertanyaan, kalian boleh keluar."

"Terima kasih, Pak. Permisi."

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang