Tidak ada yang lebih membahagiakan saat memeriksa pekerjaan dan semunya sudah beres sebelum makan siang, kalau saja Bos Besar tidak memanggil. "Selamat siang, Pak. Cari saya?""Silakan masuk."
Raka menutup pintu ruangan Bos Besar pelan, dan mendekat. Mendengar keramahan pada jawaban Bos Besar, pikiran Raka langsung terbawa kepada beberapa hari yang lalu, saat bos besar berkata akan rehat dari pekerjaannya. Awalnya, Raka mengira Bos Besar akan cuti panjang. Ternyata, tebakannya salah. Resign. Raka tidak mengira kalau hal tersebut menjadi berita paling menggembirakan baginya dan tim.
Saat melangkah, Raka tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya begitu menimbang ruangan luas milik Bos Besar yang berbingkai kaca lebar-lebar, bersekat kaca film warna bening―lebih mirip akuarium―, baik dari luar maupun dalam ruangan. Karena pilihan cat warna putih tulang serta hiasan dinding maupun meja yang melengkapi mirip satu sama lain berwarna monokrom antara cokelat, abu-abu dan putih, dan ke semuanya terasa kompak dengan pembawaan Bos Besar yang kaku, dagu keras, bola mata tajam dan alis mata bak ulat bulu, menambah keangkeran penampakannya.
Raka langsung duduk di depan Bos Besar dengan tenang, tanpa perlu menatapnya karena dia sedang menunduk. Sepertinya, Bos Besar sedang membaca draft kontrak sewa.
"Dari mana saja kamu?"
"Baru juga dipuji dalam hati. Demitnya langsung keluar." Raka membatin.
"Saya tanya, dari mana saja kamu?!" ulang bos besar. Kali ini ia mendongak.
"Saya habis antar klien sebentar, Pak. Setelah makan siang tadi, saya langsung ke atas sama klien buat lihat unit. Kami sudah janjian buat lihat-lihat lokasi yang mau disewakan, dan saya rasa respon mereka lumayan. Ini sekalian mau lapor ke Bapak. Cuma keduluan panggilannya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kalau semuanya kamu kerjakan sendiri, terus anak buahmu kerja apa?"
Kening Raka berkerut. Ia mencoba menelaah ke arah mana pembicaraan tersebut akan bermuara.
Saat Raka akan membuka mulutnya kembali, ia urungkan niatan tersebut karena pasti akan menuntunnya kepada sakit hati atau sakit telinga. Ia sudah bisa memprediksi. Jadi, Raka memilih jalan perdamaian dengan memilah kata-kata yang tepat dan tidak menyulut pertikaian. Terutama, di hari-hari terakhir Bos Besar di kantor.
"Mereka juga sibuk, Pak. Supaya target bulan ini tercapai. Kami sudah bagi tugas dan klien ini termasuk klien besar, jadi saya sendiri yang menangani biar bisa langsung memutuskan, kalau-kalau diperlukan. Kan, klien besar maunya nggak berbelit-belit soal keputusan. Daripada saling tunggu karena harus koordinasi, lebih baik menghemat waktu."
"Kalau caranya begitu, kamu kerja sendirian saja. Tidak perlu pakai tim." Bos Besar memasang wajah datar saat mengatakannya. "Buang-buang energi dan uang perusahaan saja. Kamu seharusnya bisa mengatur mereka lebih baik lagi dariku. Kalau perlu, kerasi mereka biar tidak manja. Aku lihat, kamu terlalu sabar sama mereka, Raka."
"Ini mau resign masih juga cari perkara. Heran, kok orang begini ini nggak punah-punah." Raka membatin lagi.
Karena Raka hanya diam, Bos Besar melanjutkan kalimatnya. "Terlalu sabar itu nggak baik Raka. Kamu bakal diinjak-injak sama mereka. Percaya sama omonganku."
"Baik, Pak. Akan saya pertimbangkan sarannya. Terima kasih."
"Ini aku ngomong karena sudah pengalaman puluhan tahun sama orang-orang model mereka."
"Baik, Pak."
Padahal, seingat Raka. Ia tidak mau berlaku seperti Bos Besar yang selalu curiga dengan anak buah sendiri.
"Oke, mulai hari ini kita akan serah terima pekerjaan. Sebenarnya, pekerjaanku sama dengan pekerjaanmu. Cari klien potensial, kalau bisa yang brand untuk isi unit yang kosong. Dan lanjutin zoning area yang sudah kita jalankan dua tahun ini, termasuk zoning area unit yang terlanjur dijual. Mungkin, yang berbeda adalah kamu negosiasinya langsung sama Pak Chan di Jakarta. Bukan sama aku lagi."
"Baik, Pak."
"Kamu catat beberapa nomer penting yang belum selesai ku-offering, sama yang hot prospek. Jangan khawatir, semuanya ada di buku catatan. Setelah itu, lanjut take over email untuk beberapa minggu ke depan dan beberapa minggu yang lalu. Aku kasih password komputer. Kalau email kan sudah jadi satu, jadi nggak perlu. Atau, kalau mau pakai komputerku juga nggak apa-apa, biar lebih gampang melacaknya. Tapi, sementara ini kamu pakai komputermu sendiri dulu setelah aku panggil IT biar kita bisa link data. Kalau aku sudah keluar dari sini, kamu boleh ubah semua password-nya."
Untuk pertama kalinya, Raka tidak dongkol. Ia merasa takjub dengan keberadaan Bos Besar bernama Paiman ini. Tulisannya tertata rapi di satu buku bergambar batik yang diulurkan kepada Raka dengan sedikit enggan, tetapi membuatnya ingin tersenyum lebar karena sejak mengenal Bos Besar pertama kalinya, Raka penasaran dengan apa saja yang ditulisnya di dalam buku itu. Mungkin, rahasia menjadi orang menyebalkan juga ada di sana.
Dari balik wajah kerasnya, sebenarnya ada jiwa pekerja keras yang coba ditunjukkan bos besar kepada mereka semua, menilik kata-kata mutiara yang biasanya keluar dari mulut bos besar secara mendadak agar tidak ada yang meremehkannya, meski ada sedikit ketakutan, sekaligus ketangguhan dalam diri Bos Besar ketika mengenal orang-orang baru yang berpotensi menyingkirkannya.
Raka ingat, Bos Besar langsung membangun benteng tinggi sejak dia menyerahkan laporan lengkap mengenai base on level yang telah dikerjakannya setelah Bos Besar memintanya dalam hitungan jam. Raka menjelaskan kepada bos besar, ia mengerjakannya untuk membantu filing perusahaan.
Sejak itu, Bos Besar merasa memiliki saingan berat. Apalagi, Pak Chan juga memiliki akses yang sama untuk mengorek informasi dari Raka ketika Bos Besar izin cuti.
"Raka, pesanku yang tadi jangan dilupakan. Kamu harus hati-hati kalau sedang bekerja. Sebisa mungkin, jangan campur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Cari solusi yang cepat dan tepat kalau ada masalah sama klien."
"Pesan Bapak sudah saya catat dengan baik di dalam kepala. Akan saya ingat selalu."
Saat jawaban Raka terlontar sopan, senyuman Bos Besar seolah menjadi hal lumrah. Sepertinya, ide baru saja meledak di dalam kepalanya.
"Atau begini saja, untuk menghemat waktu, kamu yang ketik surat serah terimanya, nanti aku tinggal tanda tangan. Paling cuma butuh seminggu untuk merekap semuanya sebelum kuperiksa." Sirna sudah senyum di wajah Raka saat Bos Besar berceletuk dengan ide gilanya.
"Akan saya usahakan."
"Masa begitu saja nggak mampu?" Bos Besar telah mengeluarkan kartu as-nya.
"Ya, Pak. Akan saya buatkan."
Langkah Raka menyeret. Berat, mengetahui hari lembur benar-benar akan tiba sejak gong dibunyikan secara lantang oleh Bos Besar.
"Mau keluar saja kenapa musti bikin orang muak?" Raka sudah tidak bisa menghitung, berapa kali membatin di ruangan Bos Besar. Sembari menutup pintu ruangan Bos Besar, ia tidak lupa memulas senyum terbaiknya sebelum beringsut. Kembali ke kubikelnya dengan muka ditekuk sempurna. "Bedebah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romance[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...