Raka seperti berada di surga ketika menjulurkan kakinya di ubin teraso sembari membaca buku.Sedari pamit duluan masuk ke kamar karena tidak berminat mengikuti episode sinetron yang ditonton oleh sejuta umat, termasuk keluarganya, Raka lebih memilih surganya sendiri. Jika sedang berlaku demikian, ia seperti terlindungi dari dunia luar. Seperti berada di dalam cangkang hangat, tanpa gangguan.
Rumah orangtua Raka memiliki dua ruas ruangan. Dan yang memisahkan antara ruang depan dan ruang belakang adalah sofa tunik berwarna baige, serta gebyok dari kayu jati berlubang persegi yang dijadikan sebagai sekat, warisan dari neneknya yang tinggal di Solo. Berlaku menjadi latar belakang sofa dan sebagai pemanis agar ruangan tampak lega.
Pernah, Raka berniat indekos setelah memperoleh pekerjaan cukup menjanjikan di manajemen mal, mengingat gajinya sudah naik lima kali lipat dari gaji pekerjaan awalnya sebagai junior marketing di salah satu bank swasta.
Intinya, Raka ingin belajar mandiri.
Namun, hal tersebut ditentang kedua orangtuanya. Mereka beranggapan, seorang anak boleh dilepas kalau sudah memulai kehidupan baru. Kehidupan pernikahan.
Mereka belum bisa merelakan, tidak terkecuali Raka sebagai anak laki-laki yang biasanya memiliki keleluasaan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Namun, Raka tidak menggugat karena mereka memaparkan satu persatu alasannya, mulai dari yang biasa sampai yang menakutkan jika memilih hidup mandiri. Mereka menganggap, tidak merepotkan orangtua dan tidak mempermalukan diri sendiri, sudah lebih dari cukup untuk dianggap mandiri.
Padahal, Raka ingin orangtuanya berlaku seperti orang tua di luar negeri, yang mendepak anaknya keluar dari rumah untuk mendewasakan diri. Namub, hal tersebut sepertinya jauh panggang dari api, dan lama-lama Raka lelah meminta izin untuk mandiri karena balasan orangtuanya sedikit menyayat hati: Bawa dulu pasanganmu, kenalkan kepada kami, baru kami kasih izin buat hidup mandiri.
Raka cemberut mendengar mereka berkata seperti itu dengan nada datar, seolah-olah tahu jawaban seperti apa yang akan mereka dapatkan.
Jawaban kosong.
Entah sampai kapan, Raka tidak tahu.
#
Jarum jam tengah menunjuk angka nol-nol saat Raka menyadari tangannya mulai kebas. Ia meletakkan buku bacaannya di atas nakas, tidak jauh dari tempat tidurnya sembari memadamkan lampu kamar dan mengangkat kakinya tinggi-tinggi untuk berolahraga sebentar sebelum naik ke kasur karena matanya tinggal 5 watt.
1, 2, 3, 4, 5....
Belum sempat Raka menghitung domba sampai 100 dan memaksa 10 domba untuk melangkahi pagar lebih dulu, alam mimpi langsung membelainya dengan lembut, sampai Raka tiba di lorong panjang gelap setelah melayang-layang. Lalu, cahaya putih menelannya bulat-bulat.
Raka mengamati sekitar saat silau mulau menipis setelah kakinya menjejak kembali di daratan. Atau, di alam mimpi?
Pantai berpasir....
Dan sejauh Raka memandang, terdapat lautan luas berwarna biru. Saat Raka menurunkan pandangannya, pasir pantai berwarna merah muda membelai lembut sela-sela jari kakinya.
Tidak jauh dari tempatnya berada, nyiur melambai dengan daun menjulur seolah menginginkan Raka untuk mendekat. Asin air laut serasa menyentuh langit-langit penciumannya. Deburan ombak pantai mulai melubangi pendengarannya. Sampai angin pantai pun seperti tidak mau kalah menggesek kulitnya. Raka terpejam, seolah tidak terganggu dengan silaunya matahari.
Saat membuka matanya kembali, dari kejauhan ia melihat siluet seseorang berjalan mendekat.
Raka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dan mulai menyusun skenario untuk melarikan diri, kalau-kalau nyawanya terancam. Ia langsung memasang kuda-kuda, persis seperti adegan dalam film laga.
"Perompak?" pikirnya, mulai menarik napas panjang dan bersiap untuk lari.
Semakin lama, siluet tersebut semakin menampakkan dirinya.
Raka mulai menyadari pemilik rambut panjang cokelat berombak, dagu sedikit lancip dengan tulang pipi tidak terlalu menonjol. Tinggi badannya pas. Persis, 168 senti.
Aromanya?
Bukan, ini bukan aroma laut yang menguar.
Aroma ini benar-benar Raka kenali. Bukan laut, bukan pula pantai, apalagi wangi nyiur melambai. Melainkan wangi cinta dan luka dalam satu tarikan napas.
Raka terkesiap mendapati sosok yang kini tengah hadir di hadapannya. Ia tampak anggun dengan baju terusan longgar berwarna putih untuk tubuh tegapnya.
Senyum pun terpulas sempurna dari sosok tersebut. Gigi-giginya rapi, bentukan dari kawat gigi yang sudah lama ia tanggalkan. Suaranya terdengar renyah di telinga. Bukan suara merdu, tetapi perpaduan antara suara ramah dan suara yang terdengar selalu menyenangkan. Suara yang tidak pernah terdengar mengeluh, apalagi berat menghadapi dunia.
"Alika?"
Ia mengangguk. Lalu, duduk di sebelah Raka dengan gerakan lambat.
Sembari memandang ke kejauhan bersama-sama, lama-lama Alika menyandarkan kepalanya di lengan liat Raka.
Diperlakukan seperti itu, Raka hanya diam. Ia tidak berani memandang apalagi bertanya tentang banyak hal, meski banyak sekali utang penjelasan yang diinginkannya dari Alika.
"Apa kamu marah?" tanya Alika.
Raka memberanikan diri meneleng sebelum membalas pertanyaannya. "Apa aku perlu marah?"
Balasan gelengan Alika terasa ringan di lengan Raka.
Sedetik. Dua detik berjalan. Tiga detik. Akhirnya Raka mendengar sesenggukan.
Alika menangis? Kenapa?
"Kalau saja bisa kuulang waktu, aku ingin memilihmu saja Raka. Terus berada di sisimu. Hidup berdua denganmu. Aku benar-benar mencintaimu. Selamanya. Please, jangan tinggalkan aku sendirian. Aku kesepian. Aku nggak mampu hidup tanpa kamu."
"Tapi kamu harus janji dulu, Al. Jangan tinggalin aku lagi. Aku kangen sama kamu," imbuh Raka, menunjukkan kelingkingnya.
Sama seperti Raka, Alika menyodorkan kelingkingnya. "Iya, aku jan..."
Seketika Raka terbangun dari mimpi dengan keringat membasahi tengkuk dan juga keningnya. Terlebih, mendapati Nani yang sedang duduk di ujung ranjang dengan tatapan bingung setelah menggoyang-goyangkan tubuh anaknya yang juga belum bereaksi secara normal.
"Kamu ndak masuk kerja hari ini?" tanya Nani, saat Raka akhirnya sadar dan duduk di ranjang.
Raka mencoba mengumpulkan nyawa yang berserakan dengan mengerjap. Berkali-kali, sampai akhirnya mengangguk pelan dan menyadari sinar matahari menerobos dari balik jendela yang sudah dibuka lebar oleh Nani, entah sejak kapan.
"Kamu ndak masuk kerja?" ulang Nani, bertanya dengan nada sedikit ragu-ragu.
"Masuk, Bunda."
"Tumben jam setengah tujuh belum bangun juga. Biasanya kan sudah ngoceh di meja makan sambil ngunyah tempe goreng. Kok kamu keringatan. Kamu lagi sakit, ya?" tanya Nani sambil menyentuh kening Raka yang berpeluh.
Raka menggeleng cepat.
"Kalau mau mandi dulu, ndak apa-apa, tapi nanti wajib sarapan. Bunda sudah siapkan sarapan di meja makan. Kesukaanmu. Tempe penyet, ada kerupuk juga. Adikmu juga belum berangkat sekolah," sambung Nani, seraya melangkah keluar dari kamar Raka.
"Iya, Bunda," jawab Raka pelan, masih membayangkan mimpi bertemu dengan mantan kekasihnya yang tidak pernah hadir lagi dalam mimpinya sejak Raka mencoba melupakannya.
Pertanda apa ini? Apakah Alika baik-baik saja? Atau,....
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Roman d'amour[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...