Bab 37 : Di Ujung Tanduk

127 23 4
                                    


Kubikel milik Intana dan Zainal masih terlihat kosong saat Raka berjalan menuju ruangannya. Ia terlambat datang ke kantor hari ini. Tidak seperti biasanya.

Hari ini, Raka malas pergi ke kantor. Badannya lemas karena kurang tidur. Hatinya lemah karena belum juga mendengar kabar dari Alika sampai sekarang. Ia bahkan belum makan secara proper sejak semalam. Belum lagi kantung matanya.

Setengah jam berada di dalam ruangan, Raka melongok ke luar dan mendapati dua anak buahnya baru saja kembali ke meja masing-masing secara bersama-sama dari arah belakang. Ada yang tidak beres. Kecurigaan pun menguat saat mereka terlihat tidak bersemangat dan tertangkap basah ketika melirik ke ruangan Raka.

"Intana," panggil Raka melalui interkom. "Ke ruangan saya sebentar."

"B-baik, Pak," jawab Intana pelan, lalu menutup sambungan dengan menarik napas panjang.

"Siapa?" tanya Zainal saat Intana meletakkan gagang teleponnya kembali.

"Si Bos telepon. Disuruh ke ruangannya sekarang. Aduh, gimana nih kalau si Bos nanti tanya-tanya," jawab Intana khawatir sebelum mencoba menenangkannya dengan menarik napas panjang lagi. Intana bahkan seperti ikan cupang sedari tadi.

"Kita disuruh ke sana?" Zainal mencoba menenangkan.

Intana menggeleng. "Nggak, Nal. Aku aja yang disuruh ke ruangan si Bos."

"Kenapa?"

"Mana aku tahu." Intana berdiri sedikit lama. Berkacak pinggang sembari menatap Zainal yang juga kebingungan menentukan sikap. "Gimana cara jelasinnya ke si Bos nanti?"

"Harus kita ya, yang jelasin soal beginian? Tadi, kita ke sana kan disuruh konfirmasi aja. Bukan kita yang bilang-bilang."

"Iya, aku tahu," kata Intana pelan sembari beringsut menuju ruangan Raka. "Sebentar, aku ke ruangan si Bos dulu."

Zainal merengut saat melepas Intana pergi sendirian. Padahal, dalam hati ia bersorak karena telah terbebas dari rasa tidak enak hati.

Sesampainya di ruangan, Raka langsung mencercanya dengan pertanyaan. "Dari mana saja tadi kalian? Aku lihat, kalian dari ruangan belakang sama-sama sambil wajahnya ditekuk?"

"Anu. Itu, Pak...."

Bunyi interkom tiba-tiba saja mengejutkan mereka berdua. Bahkan, Intana sampai terlonjak dari tempat duduknya.

"Tunggu sebentar, Intana. Iya, halo, dengan Raka bisa dibantu?" Raka berbicara dengan orang di seberang telepon. Alisnya lama-lama bertaut. "Iya, Bu Lidia. Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"

Ketegangan jelas terlihat pada wajah Intana saat Raka berdiri dari tempat duduk dan berkata kepada Intana pelan untuk melanjutkan obrolan, setelah Raka selesai dari ruangan Bu Lidia. Personalia tempat mereka bekerja.

"Pak...," panggil Intana.

"Ya, Tan...."

Intana menggeleng, menelan kembali kata-katanya. Tebersit perasaan tidak enak. "Nggak ada apa-apa, Pak. Lupakan...."

Selama hampir satu jam Raka berada di ruangan Bu Lidia. Mendengarnya berbicara tanpa menginterupsi, sementara Intana dan Zainal tidak lagi mood untuk mengerjakan pekerjaan mereka.

Raka tahu ke arah mana pembicaraan tersebut bermuara. Tentu saja, mengenai apa yang diperbuat oleh Septian kemarin, meski Raka tidak memprediksi perusahaan akan menindak tegas perkara seperti itu.

"Saya bangga sekali bisa bekerja sama dengan Pak Raka. Tidak pernah, pemilik perusahaan ini sampai pusing, waktu Ibu memberitahukan hal ini kepada mereka pagi ini," kata Bu Lidia, menuju akhir obrolan.

"Terima kasih, Bu Lidia."

"Jujur, saya berat sekali mengatakannya, tetapi ini demi kebaikan bersama. Ibu minta tolong sama Pak Raka, surat pengunduran dirinya diserahkan paling lambat besok. Ini semata untuk menegakkan peraturan perusahaan. Kami, setelah berbicara panjang lebar dengan pihak manajemen, sepakat untuk tidak ada PHK, melihat kinerja Pak Raka yang bagus selama ini. Jadi, hal ini merupakan win-win solution yang ditawarkan oleh perusahaan supaya masa depanmu cerah."

"Iya, Bu. Surat pengunduran dirinya akan saya serahkan hari ini juga. Maaf, karena sudah mengecewakan Ibu dan Bapak Marko sebagai pemilik perusahaan."

"Sanksi yang kami berikan ini bukan hanya buat Pak Raka saja. Tapi, buat klien Pak Raka juga. Kami tutup segala akses untuk mereka."

"Iya, saya tahu," balas Raka pelan. "Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Saya permisi dulu, Bu Lidia."

"Semoga sukses."

Mereka berjabat tangan erat, seolah Bu Lidia tidak mau melepaskan tangannya, tetapi ia harus tetap melakukannya.

Raka kembali ke ruangan dengan wajah datar, tanpa memandang sekitar, termasuk memandang Intana dan Zainal yang menunggu keputusan dengan harap-harap cemas. Mereka dilanda dilema untuk mengetuk pintu ruangan Raka lebih dulu, menanyakan kabar Raka atau memilih diam.

Dalam hati, mereka ingin ke sana, bertanya dan sedikit menghibur, tetapi mereka tahu Raka bukan tipe orang yang akan menangis dan melempari apa pun dengan barang-barang, apalagi bertindak anarkis.

Satu jam berikutnya, tiba-tiba saja interkom milik Intana berbunyi, membuyarkan lamunan mereka berdua. "Intana, kalau kamu nggak ada tamu, ke ruangan saya sebentar. Ajak Zainal juga ke ruangan saya. Sama minta tolong bilang ke security kita ada meeting dadakan."

"Baik, Pak."

Ternyata, bukan hanya Intana dan Zainal saja yang dipanggil oleh Raka. Heni dan Jaya menyusul di belakang mereka.

Setengah jam sebelumnya, Raka sedang sibuk mengemasi barang-barang miliknya setelah meletakkan surat pengunduran diri di meja kerjanya dan berniat pamit hari ini juga.

"Tak perlulah menunggu esok hari." Raka membatin saat satu persatu anak buahnya masuk ke ruangan.

"Saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya kalau selama ini pernah menyinggung atau berkata tidak mengenakan sama kalian. Terima kasih banyak atas kerja sama yang terjalin baik selama ini. Semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu dan di lain kesempatan dengan keadaan yang lebih baik."

"Pokoknya, Bapak adalah Bos kami yang terbaik," kata Intana sembari menahan isak.

"Jangan lupakan kami, ya, Pak." Jaya menambahkan, tanpa tangisan. Hanya saja, matanya berkaca-kaca.

"Terima kasih banyak sudah menjadi bagian dari kami, Pak." Zainal menambahkan dosis tangisannya.

Hanya Heni yang terdiam, memandangi Raka tanpa kedip, tanpa tangis atau minimal mata berkaca-kaca.

Untuk menetralkan suasana, Raka memeluk mereka satu persatu, termasuk Heni yang seperti mematung di tempatnya.

Setelah menyerahkan surat pengunduran diri kepada Bu Lidia dan pamit kepada seluruh karyawan, termasuk security, Raka segera menuju mobil yang terparkir, tanpa diantar. Raka yang memintanya seperti itu.

Saat berada di dalam mobil, satu pesan dari Alika masuk ke ponselnya. Pesan yang ditunggu-tunggunya. Cepat-cepat Raka membuka isi pesan dari Alika dan membaca dengan sangat hati-hati.

Bisa kita ketemu sebentar? Setelah pulang kantor, mungkin? Ada yang mau aku bicarakan. Di kafe biasanya.

Perasaan Raka sedikit tidak enak setelah membaca pesan tersebut. Ia pun bergegas menuju tempat mereka janjian, tanpa memberitahukan kepada Alika bahwa ia sudah tidak bekerja lagi per hari ini.

Boleh. Setelah pulang kerja, ya, Al.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang