Bab 24 : Menuju Dilema Abadi

119 25 8
                                    


Alika membiarkan punggungnya yang tegang disangga sofa yang dibelinya di toko furniture terbesar di daerah Tangerang, sementara matanya terasa asing menjelajahi seisi rumah yang tidak lebih sepi dari hatinya, meski sudah bertahun-tahun tinggal di bawah atapnya.

Di ujung terjauh, dapur terlengkap mirip restoran terkenal dikuasai Mbok Nem dan anaknya yang sudah beranjak remaja, Siti. Kemungkinan besar, dipersiapkan oleh Mbok Nem untuk menggantikannya saat pensiun. Septian dan adiknya, Nanda, terlahir dari keluarga kaya raya. Bisnis mereka meliputi property, garmen, tour and travel, serta pabrik pakan ternak. 80 % peternak Indonesia tahu, pakan ternak tersukses yang mampu menghasilkan lele dumbo, ayam petelur dan pedaging, pernah memakan pakan ternak ber-merk Nakam.

Hidup terkadang lucu, tak jarang ironis. Beberapa orang menginginkan hidup seperti Alika. Hidup bak di negeri dongeng yang semuanya tersedia hanya dengan menjentikkan jari. Semua itu juga pernah singgah di pikiran Alika, putri tunggal pebisnis yang karyanya tidak terlalu unggul di pasaran, meliputi bisnis restoran dan kafe. Entah siapa yang memulai, mereka berkenalan saat pergi ke Jakarta menghadiri pernikahan saudara jauh, seperti dipertemukan oleh nasib.

Septian, sosok menjulang sedang menatap Alika yang berdiri seperti bunga di antara rerumputan. Rambut Alika tergerai lurus sebahu. Tidak ada emas berlebih melilit leher, pergelangan tangan atau jarinya. Namun, ia tampak menarik mengenakan terusan pendek motif bunga kecil-kecil dan clutch keluaran rumah mode Italia kesukaannya. Jika mereka berdiri sejajar, Alika setinggi dada Septian.

Septian datang ke pesta pernikahan saudara jauhnya mengenakan setelan jas milik Pluto berwarna biru tua, yang Alika paham harganya di kisaran dua digit dan hanya dibuat beberapa potong. Mungkin, Septian mengenakannya karena Pluto ingin mensponsori, mengingat tubuh menjulang dengan otot tegap sangat memungkinkan dilirik oleh para desainer. Apalagi, beberapa kali profil Septian dimuat di majalah bisnis dan juga fashion, meski hadir sesekali.

"Sudah selesai kuliah di Amerikanya?" tanya Ziran―Papa Alika.

"Sudah, Om. Baru balik Indonesia dua bulan yang lalu." Septian mengulurkan tangan, menyalami Ziran dan melirik ke arah Alika yang terdiam.

"Lagi sibuk apa sekarang?"

"Bantu-bantu Papa, Om. Sekalian, praktik ilmu yang didapat waktu kuliah."

"Saya suka semangat mudanya, Mas Toko," kata Ziran, mengarahkan pandangannya kepada Setiantoko, bersambut tawa keduanya. "Seperti kita dulu. Terlalu bersemangat."

"Begitulah, Mas Ziran. Saya kadang sampai kewalahan sama semangatnya. Suka aneh-aneh. Masih bau kencur, sudah mau ubah strategi bisnis perusahaan yang menurut saya masih wajar. Untung saja cuma saya kasih wewenang untuk bagian promosi. Kadang saya agak takut sama anak sendiri. Suka trial and error."

"Maaf Pa, menurutku memang sudah ketinggalan zaman yang Papa lakukan sama perusahaan. Khususnya bagian inovasi dan promosi. Nanti, semuanya bakal pindah ke digital, di samping tentu saja masih memakai cara Papa yang lama. Mau nggak mau, Papa harus ikut. Jadi, sebelum kita ketinggalan zaman, kita sudah harus memulainya lebih dulu. Nggak bakal ada yang dirugikan," terang Septian.

"Ini contohnya...." Tawa Setiantoko memancing tawa yang lain. Sementara Septian sedikit salah tingkah.

"Nak Septian sudah punya pacar?" Pertanyaan yang datang secara tiba-tiba dari mulut Ziran, langsung membungkam Septian yang mungkin saja akan menambahkan perkuliahan singkatnya, kalau tidak sedang terkejut dengan apa yang didengarnya.

Bukan saja Alika yang langsung memandangi Ziran, Septian serupa dengannya. Namun, ia mampu menguasai keadaan dengan tidak menunjukkan kekakuan di wajahnya, sementara Alika bersiap menimpali perkataan Papanya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang