Bab 16 : Farewell Party

144 35 5
                                    


Meja panjang food court yang mampu menampung 12 orang mendadak sesak sewaktu makan siang berlangsung untuk untuk farewell party Bos Besar. Padahal, hari terakhirnya bekerja masih seminggu lagi.

"Mau pesan apa, Pak?" tanya Raka ketika banyak mata tertuju padanya.

"Terserah kalian."

Senyum semringah terbit dari bibir masing-masing dan mereka bergerak serentak untuk memesan makanan dan minuman yang mahal.

Meski bos besar terkenal bersikap dingin dalam hal pekerjaan, bahkan terkadang tidak kenal ampun jika ada kesalahan, tetapi ketika jam istirahat atau ketika tidak ada hal mendesak memancing taringnya, ia selalu mempersilakan anak buahnya untuk beristirahat.

"Kamu nggak sekalian pesan?" tanya Bos Besar.

"Sebentar lagi, Pak. Kalau anak-anak sudah balik. Bapak mau dipesankan apa?"

"Seperti biasa."

"Sup buntut sama teh tawar panas. Betul?"

"Kamu memang yang terbaik, Ka."

"Karena Bapak jarang pesan yang lain, makanya saya hapal pesanan Bapak."

Bos Besar menimpali dengan jempol saat Raka bangkit, begitu mengetahui Zainal telah kembali.

Saat melangkah, pandangan Raka tertuju kepada Heni yang terdiam sedari awal, bahkan ketika melaluinya. Raka baru menyadarinya saat mereka berpapasan di dalam lift dan berjalan bersama Bos Besar menuju food court. Sampai Raka kembali dari memesan makanan, dan duduk di depannya, Heni tidak juga buka mulut. Sepertinya, ia sengaja mendiamkannya.

"Bapak kenapa kadang keras sama kita?" Intana berani memulai pertanyaan serius.

Sembari menunggu makanan datang, Bos Besar berceletuk kepada anak buahnya bahwa mereka boleh menanyakan apa pun secara pribadi maupun pekerjaan. Kesempatan langka, apalagi ketika Bos Besar berkata ingin pertanyaan yang memancing kejujuran. Bos Besar memberikan kesempatan untuk menjawab tiga pertanyaan secara berebut, dan dia sendiri yang akan memilih siapa orangnya.

"Begini, ya." Bos besar mengawali kalimatnya dengan intro yang ditunggu-tunggu. "Ini sebenarnya bukan salah kalian, tapi saya sendiri seorang penuntut. Tidak puas kalau anak buah saya nggak bisa bekerja secara maksimal. Makanya, kalau kalian lihat saya terlihat nggak bahagia dalam hidup, itu semua karena ketidakpuasan yang ada pada diri saya sendiri. Jadi, saya minta maaf kalau sampai dengan hari ini masih ada yang tidak enak hati dengan apa yang saya lakukan. Percayalah, semua ini akan berguna untuk masa depan kalian."

"Oh, ternyata Si Perfeksionis...." Tanpa sadar, Zainal mendapati pandangan menusuk dari teman-temannya, terutama Bos Besar. Zainal langsung menunduk, padahal ia ingin sekali mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya. Kemungkinan besar, kesempatan itu hilang.

Jaya, desain grafis yang berada satu kubikel dengan Heni, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menggantikan Zainal yang melongo karena telah kehilangan kesempatannya bertanya. "Pak, maaf kalau menyinggung, tapi saya penasaran dengan jawabannya. Boleh saya tahu kenapa Bapak tahun kemarin tidak jadi resign, sementara gosip sudah meluas. Sampai kami nggak percaya kalau sekarang Bapak benar-benar resign."

Bukan hanya Zainal yang melongo kali ini. Semua tim seperti tersedot darahnya mendengar pertanyaan Jaya yang terlalu jujur itu.

"Terus, kamu kecewa karena saya nggak jadi resign tahun lalu?" tanya balik Bos Besar dengan wajah datar.

"Bu... bukan begitu, Pak. Maksud saya...."

"Bercanda, Jay. Seharusnya memang saya yang menjawab pertanyaanmu itu, bukannya malah balik tanya," potong bos besar dengan suara bariton yang kali ini terdengar tidak semenyeramkan seperti biasanya. "Saya nggak jadi resign tahun lalu karena Bos belum mengizinkan, padahal saya sudah mengajukan pensiun. Selain karena sudah tidak selincah dulu, ada beberapa hal menyangkut kesehatan yang perlu saya perhatikan. Dan tentu saja karena belum ada pengganti yang pas untuk saya serahi tugas waktu itu. Jadi, tahun ini saya rasa jadi tahun yang tepat untuk saya berhenti."

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang