Bab 26 : Penyelundup Asmara

101 25 0
                                    


Ketukan pintu berhasil melubangi pendengaran Alika meski ia sedang terlelap. Alika sedang menikmati tidur siang ketika suara-suara yang tidak disukainya mulai mengganggu.

Maklum saja, kamar Alika berada di ruang depan, bersisian dengan ruang tamu. Jelas, menjadikannya seperti satpam setiap kali ada tamu mencarinya atau mencari Papanya.

Ia sempat menggerutu saat melangkah membukakan pintu. Dalam hati, Alika menyumpahi keadaan rumah yang sepi dan baru tersadar kenapa tidak ada yang membukakan pintu. Pembantu rumah dan tukang kebun sedang pulang kampung. Jadi, sebagai tuan rumah yang baik, ia harus menyambut tamu yang datang dan mempersilakan masuk.

Alika mengerjap sewaktu memperhatikan tamu yang sedang menunggu di luar, saat seharusnya pemilik rumah beristirahat dengan tenang dan bermimpi indah jalan-jalan keliling dunia, dan ia harus kembali ke kenyataan hidup yang penuh dengan tekanan. Sial.

"Tunggu sebentar!" Lubang pengintip menjadi temannya selama ini. Alika tinggal mengepaskan satu bola matanya.

Tiba-tiba, detak jantungnya tidak terkendali. "Septian?" Alika membelalak dan menyesali berteriak lebih dulu sebelum memeriksa siapa tamunya.

Dengan air muka tegang, Alika membuka pintu dan menyambut Septian dengan wajah kaku. "Papa lagi keluar, tapi sebentar lagi balik. Tadi sempat telepon kasih kabar."

Bohong!

"Iya, aku tahu. Om Ziran kasih aku alamat rumah ini, terus suruh aku langsung datang waktu aku tadi kasih kabar sudah sampai bandara."

"Om Toko mana?" tanya Alika, memandang ke kanan dan kiri Septian.

"Papa lagi di Surabaya. Ada meeting penting yang nggak bisa ditinggal."

"Kalau gitu, ngapain kamu ke sini?" Alika membatin dan sedikit menyesal telah bertanya.

Mereka masih berdiri sedikit canggung, saling menatap sejenak dan menekuri lantai dalam diam. Alika menyadari, ada sesuatu yang menarik pada diri Septian saat mengenakan pakaian kasual seperti sekarang ini. Ia tampak lebih muda daripada saat mereka pertama kali bertemu. Tanpa pomade, tanpa sepatu pantofel, tanpa jas ber-merk. Kali ini, Septian membalut tubuhnya yang tegap dengan kaos warna putih satu nomer lebih besar, celana jeans warna biru gelap dan sepatu santai warna putih, sementara tas punggung yang masih menempel di belakang menambah kesan santai. Apalagi, wangi Hugo Boss sesekali terendus ketika udara menampar penciuman Alika.

"Boleh masuk atau boleh duduk, misalnya?" tanya Septian, membuyarkan pikiran Alika yang masih mempelajari seseorang yang begitu menarik secara fisik, tidak kalah dengan Raka, meski kekasihnya tidak serapi atau sewangi Septian.

"Boleh. Silakan masuk. Silakan duduk. Anggap rumah sendiri."

Tidak perlu seramah itu, Alika. Buat apa?

"Tumben sepi?" tanya Septian, menurunkan tas punggungnya di lantai dan duduk di salah satu kursi.

Memangnya sudah pernah ke sini pas ramai?

"Alika?" panggil Septian.

"Si Mbok sama suaminya lagi pulang kampung, terus Papa lagi keluar. Ke rumah temannya. Eh, kenapa tanya begitu? Kamu mau macam-macam, ya? Aku laporin satpam, ya. Biar diarak keliling kompleks, terus masuk koran."

Septian terbahak mendengar kalimat Alika yang seperti anak kecil ketika diganggu oleh teman-temannya yang jail dengan mempraktikkan gaya dan juga kuda-kuda dengan menumpu pada satu kakinya, lengkap dengan gerakan tinju di dada dan siap menggebuk siapa saja yang berani mendekat.

"Kamu lucu. Mana berani aku macam-macam, apalagi macam-macam di daerah kekuasanmu. Belum mulai juga sudah kena tendang duluan. Baru bayangin aja sudah ngeri," balas Septian cepat, tidak menghentikan tawanya.

"Bagus kalau sadar." Alika tersenyum geli, memandangi wajah Septian. Seperti tidak merasa bersalah, Alika melanjutkan kalimatnya. "Mau minum apa?"

"Air putih saja, yang dingin, kalau boleh, sih. Terima kasih."

Alika mengangguk dan beringsut dari tempat duduknya, menuju arah dapur yang ada di ujung ruangan.

Jarum jam tengah menunjukkan pukul dua siang dan Ziran belum juga menampakkan batang hidungnya.

Sebenarnya, tidak ada yang Alika khawatirkan sejauh ini karena mengobrol dengan Septian tidak semenakutkan seperti yang dipikirkannya. Ia terpelajar. Itu pasti, dan bisa dijelaskan melalui pendidikan yang dikenyamnya. Ditambah lagi, Septian berasal dari keluarga baik-baik yang menjunjung tinggi nama baik keluarga. Jadi, Alika yakin ia tidak akan gegabah merusak nama baiknya sendiri, apalagi keluarganya.

Alika berusaha menimpali dan mengimbangi kalimat Septian dengan santai. Alika akui, meski sedikit idealis dan naif, ada yang menarik dari Septian. Ia memulai obrolan dengan menjelaskan bagaimana bisa diterima di salah satu universitas ternama di Negeri Paman Sam. Dari situ, Alika mulai menimpali bahasan Septian mengenai sistem pendidikan yang ada di sana. Alika menangkap, setiap mahasiswa dituntut cepat beradaptasi, apalagi mahasiswa multikultural. Mereka diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri selebar-lebarnya, termasuk bagaimana setiap mahasiswa diajak lebih kreatif dalam menemukan ide-ide terbaik untuk mengolah sumber daya yang ada di negeri sendiri setelah pulang. Makanya, melalui serangkaian pembicaraan tersebut, Alika bisa menangkap bahwa ada sisi terbaik yang ditampilkan oleh Septian. Pekerja keras.

Entah dari mana datangnya, Alika mulai meragukan keadaan Raka yang tidak setangkas Septian untuk meraih mimpinya. Padahal, Raka sudah berusaha sebaik mungkin dalam hal apa pun, terutama untuk menjadikannya pasangan sehidup-semati. Kelak. Namun,....

Tidak. Alika geleng-geleng kepala.

"Kenapa geleng-geleng?" tanya Septian.

"Nggak, kok. Nggak ada apa-apa."

Ketukan pintu berhasil memotong pembicaraan mereka untuk beberapa saat dan menyelamatkan muka Alika dari kikuk.

"Tunggu sebentar, ya." Alika beringsut dari tempat duduk. Bersyukur tidak mendapat interogasi berlebihan dari Septian, dan teringat Raka mengabari bahwa ia sedang dapat shift pagi. Jadi, tidak mungkin ada gangguan darinya.

"Kok nggak kedengaran suara mobilnya, Pa?" tanya Alika saat tahu Ziran berada di balik pintu.

"Mobil Papa tiba-tiba mogok. Minta masuk bengkel. Tadi diantar sama Tio pulangnya. Dia cepat-cepat balik jadi nggak mampir."

"Bukannya Papa bawa kunci rumah sendiri?" tanya Alika saat menutup pintu.

"Lupa. Ketinggalan di kamar," jawab Ziran singkat.

"Selamat siang, Om," sapa Septian.

"Siang. Papa kamu mana?"

"Masih di Surabaya, Om. Ada yang perlu diselesaikan dulu, dan sepertinya nggak perlu ada saya di sana karena Papa bisa mengatasinya sendiri," jawab Septian mencoba jenaka, sembari mengalihkan perhatiannya agar Alika tidak mendapat omelan.

"Kamu sudah makan, Septian?"

Ia menggeleng pelan, sedikit takut ketika mengarahkan pandangannya kepada Alika. Dan tatapan Ziran mengarah kepada Alika yang sedang salah tingkah. Meremas kedua tangannya.

"Kita sengaja tunggu Papa pulang biar bisa makan siang bareng," Alika menjawab singkat.

"Septian, kalau kamu capek, bisa menginap di sini saja."

"Pa!" Alika menyahut.

"Apa?"

"Terima kasih, Om. Tapi saya harus balik ke Surabaya. Lain kali, boleh deh," timpal Septian.

Mata Alika berakhir mengamati pandangan Septian. Ia masih penasaran, apakah Septian sedang serius atau bercanda saat menanggapi kalimat Papanya. Begitu sadar telah menjejak kenyataan, Alika mundur teratur agar penyelundup bernama Septian tahu diri.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang