Bab 05 : Rumah Kita Sendiri

282 42 5
                                    


"Ada kabar baik apa hari ini?" tanya Nani sambil membawa piring dan gelas dari dapur.

Ia selalu bersikap tenang saat beberapa mulut tengah bersiap merobek apa pun yang terhidang di meja makan. Seorang master chef yang beraksi di dapur tanpa pernah mengeluh dan selalu mendapat nilai sempurna dari anggota keluarganya.

Malam ini, Nani sengaja memasak banyak karena bahan-bahan di kulkas akan layu kalau tidak segera diolah. Makanya, mata ketiga orang yang berada di meja makan saling bertatapan mengetahui menu yang ada di atas meja tidak dapat mereka prediksi. Sambal kemiri, terong dan tempe bakar, telur ceplok, irisan mentimun dan kerupuk dalam plastik besar.

"Aku duluan yang cerita." Naya mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Punya cowok baru, ya?" tebak Raka jail, dan disambut tawa Adi. Naya melongo.

"Benar, Nay?" Nani melotot saat ia berhasil mendaratkan pantatnya di kursi kosong di sebelah Adi.

"Apaan sih, Kak Raka." Pandangan Naya nyalang. "Nggak, Bunda. Kakak bohong. Aku belum pengin punya pacar," Naya memprotes.

"Sekolah dulu yang pintar. Pacarannya nanti saja. Tapi, jangan seperti Kakakmu juga. Telat banget. Semuanya."

Raka mendelik menunjuk mukanya sendiri, sementara Naya terbahak.

"Kalau nanti pacaran, harus ngerti yang namanya skala prioritas. Biar ndak jadi gangguan. Ayah cuma pesan, jangan percaya kalau ada temanmu yang bilang bisa seimbangkan semuanya. Ya pacaran, ya sekolah. Ayah jamin itu bohong. Tapi, kalau kamu mau coba pacaran, asal bisa tanggung jawab, boleh. Kamu tahu kan, kalau banyak syaratnya?" imbuh Adi. Tangannya yang sedang meraup sambal terong.

"Delapan-enam." Naya memberi hormat kepada Adi sebelum menyadari ada kekeliruan yang dibiarkannya sedari awal. "Loh, ini tadi kan mau cerita, ya? Gara-gara dipotong Kak Raka jadinya ngelantur. Durasi!"

"Waktu dan tempat dipersilakan," balas Raka enteng.

Tidak mengindahkan permintaan maaf dari Raka, Naya pun mulai bercerita. "Di sekolah ada kejadian lucu. Ada satu anak namanya Candra. Dia suka cari masalah. Bandel. Otomatis, banyak yang nggak suka sama dia. Dan hari ini karena gurunya killer, jadi kalau diajar nggak ada yang berani macam-macam. Jangankan izin ke toilet, ngobrol sama teman sebangku aja nggak berani. Ngeri...."

"Kalau kebelet beneran?" tanya Raka sembari menelan makanannya.

Naya memandang sekilas, meminta dengan sangat kepada Raka untuk tutup mulut melalui volume bola mata yang dimaksimalkannya.

"... waktu di kelas tadi, tiba-tiba kecium bau kentut. Karena gurunya galak, nggak ada yang berani ngaku. Cuma perlahan tutup hidung. Buka hidung, terus tutup lagi. Tiba-tiba ada yang bilang cepirit. Otomatis, kami semua nengok, lihat siapa yang berani bikin rame. Setelah itu, Candra lari tunggang langgang. Semua heboh sampek kelas selesai. Si Candra yang selalu bikin onar, nggak berkutik. Apalagi kalau disindir cepirit, dia langsung diam. Karma emang nggak nunggu tujuh turunan."

"Terus, kamu ikut olok-olok juga?" tanya Adi setelah Naya selesai bercerita.

"Hah?"

Nani dan Raka bersitatap, sambil mengunyah.

"Cuma ikut ketawa. Habisnya, Candra suka bikin kesal. Ya, wajar kalau aku ikut ketawa pas dia kena batunya."

"Lega?" tanya Adi kembali.

"L... lumayan," jawab Naya ragu. Dari sorot matanya, ia ingin meminta bantuan kepada Nani atau Raka, tetapi rasa-rasanya tidak akan mendapatkannya.

"Maaf, Yah. Keikut euphoria-nya."

Nada bicara Adi melunak. "Terima kasih sudah mau cerita dan jawab jujur. Ndak apa-apa, kamu masih muda, jadi ndak masalah kalau mau balas apa yang orang lain lakukan sama kamu. Itu wajar. Tapi, lain kali coba tanya sama hati, apa sepadan? Apa bisa buat hati puas? Ikuti kata hati dan tempatkan sedikit empati. Meski dia bukan yang terbaik untuk mendapatkannya. Coba dibalik posisinya."

Naya mengangguk. Kelegaan tercetak jelas di wajah Nani dan Raka, mengikuti situasi yang mencair dengan melanjutkan suapan demi suapan. Tambahan, ada rasa hangat yang menjalar di hati Raka teruntuk Adi.

"Siapa lagi yang mau cerita?"

Nani angkat tangan dan tersenyum lebar.

"Jangan bahas soal harga sayuran sama ayam. Ayah belum sanggup dengarnya. Beneran," celoteh Adi, diikuti tawa yang lain.

#


Jika mengolah makanan adalah tugas Naya dan Nani, maka bersih-bersih adalah tugas Raka dan Adi. Mereka sepakat, sejak Raka bisa menggosok piring dan Naya mampu membedakan bumbu dapur, Adi dan Raka seperti menguasai tempat cucian, sementara Naya dan Nani menikmati kebebasannya menonton acara tivi di ruang keluarga. Menunggu dua jagoan mereka menyusul.

Melalui busa spons, piring serta sendok beradu. Raka coba menyelipkan lap bersih di antara kedua benda tersebut sebelum meletakkannya di rak piring. Beruntung, Nani meminta Adi mendesain dapur dan tempat cuci piring sedikit luas, jadi masih ada ruang untuk Adi yang berbadan subur terlihat manusiawi ketika berdiri cukup lama di daerah kekuasaan istrinya.

"Ayah memang yang terbaik."

"Lagi ndak ada uang receh. Jadi, ndak mungkin kasih tambahan uang jajan," balas Adi, sedikit di luar ekspektasi Raka yang masih bisa menghidupi dirinya sendiri dan tidak pernah lagi meminta uang saku sejak mendapat pekerjaan pertamanya.

"Nggak lagi bohong, Yah," celetuk Raka sebal.

Adi yang berdiri di sebelah Raka meneleng, lalu tersenyum dan melanjutkan kegiatannya tanpa bicara lagi.

"Tapi Naya nggak apa-apa dibilangin seperti itu? Kalau dilihat dari segi umur, dia masih kecil Yah, jadi wajar kalau tindakannya sedikit bebas."

"Kalau yang satu itu, kita lihat nanti, jadi masalah atau ndak. Kamu tahu kan, semua orang punya aksi-reaksi sama lingkungannya. Sama keluarganya. Jadi, dengan begitu kita tahu bagian mana yang harus dikencangkan dan bagian mana yang harus dilonggarkan. Kalau kamu sudah jadi orangtua, pasti ngerti."

"Apa?" tanya Raka dengan wajah serius.

"Pasti kamu ndak ngerti sama penjelasan barusan. Kamu ini ya, ndak pernah berubah. Kalau dijelaskan ndak pernah disimak."

"Disimak, tapi beneran nggak ngerti. Makanya, tolong dijelaskan dengan bahasa yang gampang."

"Harus sekarang?"

Raka mengangguk. "Biar nggak bingung kalau jadi orangtua. Ilmu pengetahuan yang paling mendasar dalam hidup biasanya dari keluarga, kan?" Raka meringis.

Adi menghentikan sementara waktu kegiatannya. "Kalau nanti Naya ndak mau cerita-cerita lagi, berarti Ayah yang salah karena kurang ngerti perasaan anaknya. Nanti, Ayah bakal cari cara untuk menyampaikannya, yang mungkin dianggap sensitif sama Naya. Misalnya, ketidakberpihakkan. Tapi, kalau ternyata Naya masih seperti biasa, cerita apa saja sama kita, diminta atau ndak, berarti Ayah berhasil buat Naya sedikit memakai empatinya. Paham maksud Ayah?"

Raka mengangguk. Ia merasa bangga saat memperhatikan Adi sedang mencuci gelas. Meski tidak terlihat seperti pangeran berkuda putih, Raka merasa manusia yang ada di depannya, yang tampak biasa-biasa saja, memiliki hati yang luar biasa.

"Terima kasih Yah, atas ilmu kehidupannya."

"Yoi, Bro," Adi berkelakar.

Mereka segera menyelesaikan pekerjaannya atau mendapat omelan dari Nani karena sudah memanggil-manggil nama mereka beberapa kali dari ruang keluarga. Sepertinya, Raka tidak antusias mendapati ajakan Nani karena ia ingin segera masuk kamar, begitu selesai dengan pekerjaannya.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang