Bab 36 : Teori Putus Cinta

121 26 3
                                    


Suasana rumah sakit di malam hari tidak terlalu Alika sukai, terutama lorong di ujung bangunan. Di sana, Papanya sedang dirawat secara intensif. Alika belum tahu penyebabnya, tetapi ia yakin Papanya sedang tidak baik-baik saja.

Saat mereka sampai di ujung lorong sebelum berbelok, Alika berhenti sejenak, memandang lurus ke depan. Ia mengatur napas yang tiba-tiba memburu. Diliriknya Septian, masih setia di sisinya.

"Kenapa berhenti?" Suara Septian sudah kembali seperti semula. Tenang, cenderung hangat. Bahkan, sorot matanya yang beringas, sirna dari kedua bola matanya yang bening.

"Aku takut ada apa-apa sama Papa."

Gerakan tangan Septian seolah terukur. Ia rengkuh tubuh Alika mendekat, memeluknya hangat saat sesenggukan halus terdengar. "Jangan takut. Ada aku di sini. Semuanya pasti baik-baik saja. Percayalah."

"Terima kasih, Tian."

"Ayo, kita jalan. Siapa tahu Papa butuh kita," hibur Septian, memapah Alika menuju ruang operasi sesuai pemberitahuan bagian umum dan administrasi.

Beberapa langkah kemudian, mata mereka menemukan papan bertuliskan "Kamar Operasi".

Seseorang yang bertugas sebagai astisten Dokter, menghentikan mereka berdua. Berkata dengan penuh kehati-hatian. "Selamat malam. Karena tadi urgent, kami harus menghubungi Ibu. Sepertinya, ada komplikasi. Setelah kami berkonsultasi dengan Dokter yang merawat Pak Ziran sebelumnya, kami harus memindahkan Bapak Ziran ke ruang operasi. Bapak Ziran sudah ditangani secara intensif sebelum Bapak dan Ibu datang. Keadaan Pak Ziran juga sudah membaik, tetapi operasi harus tetap dilakukan. Sekarang, saya minta administrasinya diselesaikan terlebih dulu."

"Saya mohon lakukan yang terbaik buat Papa kami." Septian membantu memperjelas perkataan Dokter karena sepertinya Alika tidak mampu berkata-kata lagi, selain menempel erat di sebelahnya dan meremas lengan Septian untuk menenangkan hatinya.

"Tapi ada satu kendala yang harus saya sampaikan di sini."

Sekali lagi, Septian mewakili Alika, bertanya dengan tatapan gusar. "Apa itu, Dok? Soal biaya? Jangan khawatir, saya akan bayar berapa pun untuk menyembuhkan Papa kami."

"Kami percaya Pak Septian mampu membayar biaya operasi. Yang saya maksud adalah kami membutuhkan golongan darah AB negatif karena stock darah di rumah sakit dan juga PMI sedang kosong. Untuk berjaga-jaga, kami minta bantuan Bapak atau Ibu, kalau ada yang bisa membantu mendonorkan darahnya. Kami juga akan tetap berusaha mendapatkan donor untuk Pak Ziran. Secepatnya."

"Saya golongan darah AB, Dok," jawab Septian.

Kalimat Septian berhasil membungkam Alika. Ia pandangi lekat-lekat wajah suaminya yang tidak menatapnya balik, selain wajah khawatir tercetak jelas di sana.

"Aku minta tolong sama kamu, Tian. Sekali ini saja, selamatkan Papaku."

Wajah mereka langsung segaris.

Meski tinggi badan Septian menjulang, Alika tetap mampu mengamati seberkas keteduhan tersimpan untuknya, meski Alika tahu, ia bukanlah seseorang yang pantas berada di dekatnya setelah kejadian akhir-akhir ini.

"Jangan bilang begitu. Tanpa kamu minta pun, aku akan menyelamatkan Papa," imbuh Septian, berusaha menenangkannya.

"Mari, saya antar ke ruangan pengambilan darah untuk tes darah dan lain-lain."

"Baik, Dok."

"Saya boleh ikut, Dok?" tanya Alika saat Septian akan melangkah pergi meninggalkannya bersama asisten Dokter yang akan ikut membedah Papanya.

"Kamu di sini saja. Siapa tahu ada yang membutuhkan kita nanti. Jadi, kita nggak bingung saling cari," balas Septian. Seperti tidak ingin meninggalkan Alika sendirian, tetapi ia harus pergi.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang