Bab 35 : Menggenggam Asa

134 22 11
                                    


Kalimat yang dibenci Raka adalah menjadi seorang pengecut untuk seseorang yang dicintainya, seperti satu rangkaian kalimat yang tidak pernah hinggap di dalam otaknya.

Raka tidak sanggup melihat Alika ditarik secara paksa oleh Septian untuk pulang bersamanya, lalu dihujani pandangan mencemooh dari orang-orang yang ada di kafe. Raka yakin, mereka pasti sempat mendengar makian Septian. Ia mengutuk dirinya sendiri, menyaksikan hal tersebut di depan matanya tanpa bisa membantu.

Berkali-kali pula otaknya mengingatkan bahwa ini semua adalah resikonya. Hatinya menguatkan.

Dan hal tersebut membuatnya patah hati untuk kesekian kalinya, seolah kejadian yang dulu-dulu berputar kembali di hadapannya. Bukan lagi di dalam kepalanya.

Ingin rasanya Raka mengadang keberadaan Septian, menarik paksa Alika dari tangan suaminya, memeluk erat dan membawanya pergi atau berlari. Namun, perkataan yang sempat Septian utarakan mengenai akan melaporkannya ke pihak berwajib dan menghancurkan Alika beserta keluarganya, membuatnya sedikit gentar untuk bertindak lebih jauh. Ia tidak terlalu peduli dengan kariernya, tetapi membuat Alika menderita adalah satu hal yang paling dihindarinya. Dan yang Raka ingat selanjutnya adalah keluarganya akan menanggung malu kalau sampai ia nekat. Makanya, Raka terpaksa melepaskan genggaman tangan Alika.

"Kak Raka, nasinya bakal dingin kalau cuma dilihatin saja. Nanti nasinya nangis kalau nggak dimakan," celetuk Naya saat Raka tidak juga menggerakkan sendoknya di atas piring yang telah terisi berbagai macam lauk.

"Maaf. Tiba-tiba ingat sama kerjaan kantor." Raka mulai menggerakkan sendoknya kembali.

"Saking sayangnya sama kantor sampai lupa sama diri sendiri. Itu tanda-tanda jomlo akut, Kak," canda Naya, disambut tawa pelan Raka sebelum perasaan kecewa kepada diri sendiri terbentuk kembali.

Pandangan Adi dan Nani langsung tertuju kepada putranya. Mereka menangkap isyarat bahwa Raka tengah berada di ujung tanduk, berjalan menuju kehancuran. Seperti sedang berdiri di tepi jurang, tinggal memberi satu kejutan saja maka ia akan tergelincir dan jatuh, tanpa pernah bisa diselamatkan lagi. Mereka takut, kalau sampai hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya dalam hidup Raka.

"Kamu lagi ada masalah apa, Raka?" tanya Adi, mencoba mengulurkan bantuan.

Raka menggeleng dan melanjutkan menyendokkan nasi. "Nggak ada masalah apa-apa, Yah. Cuma ingat kerjaan kantor aja. Maaf, kalau kesannya kayak banyak masalah."

Bukan hanya rasa kecewa menjalari hati Adi dan Nani saat mereka memperhatikan Raka dari tempat duduk masing-masing. Perasaan menyedihkan terpatri di hati mereka, ketika uluran tangan yang mereka tawarkan tidak lagi berarti untuk diraih. Mereka tahu, apa yang sedang menggelayuti hati putranya. Namun, karena mereka hapal dengan perangai Raka yang tidak ingin merepotkan orang lain termasuk orangtuanya sendiri, jadi Raka lebih memilih berbohong. Satu sifat yang terkadang disukai oleh Adi dan Nani, sekaligus mereka benci.

"Kalau kamu lagi ada masalah sama kantor atau sama percintaan, atau mungkin masalah lain yang kamu rasa kami berhak tahu, kamu boleh cerita ke kita semua. Apa saja. Biar hatimu tenang. Masalah kalau dipendam terus ndak bakalan selesai. Kadang, masalah memang harus dibagi sama yang lain biar plong. Biar kita bisa cari solusi sama-sama," Nani angkat bicara.

"I'm okay." Raka langsung menambahkan dosis keceriaan pada mata dan bibirnya agar tidak ada wajah-wajah khawatir di sekitarnya. "Trust me."

"Soal Alika, ya?" tanya Nani tak sabar.

Hanya Naya yang bereaksi sedikit tidak senang mendengar nama itu disebut lagi di meja makan. Ia tahu betul kehancuran kakaknya kala itu. Raka harus keluar dari pekerjaannya untuk sementara waktu, kuliahnya mangkrak, tubuhnya kurus kering, ditambah wajah muram kakaknya yang selalu menempel dalam otaknya.

"Ada apa lagi sama perempuan sialan itu, Bu?" tanya Naya.

"Jangan bilang begitu, Nay," balas Adi. "Ndak boleh anak Ayah mengumpat di meja makan."

Raka tidak membalas, sementara Naya hanya diam, menarik napas panjang dan melanjutkan makan malamnya.

Saat yang lain mulai terdiam, Raka mengarahkan pandangannya sebentar, menyelasar, lalu kembali menatap makanannya. Makan dengan lahap dan berharap bisa secepatnya pergi dari meja makan karena kepalanya mendadak berat.

#

Bagaimana caranya menuntaskan dilema di dalam hati? Tidak ada yang tahu dan tidak akan ada yang bisa menjawab, kecuali diri mereka sendiri. Melepaskan dan kehilangan, mungkin bisa jadi pilihannya. Atau, tetap menggenggam dan terluka.

Raka membolak-balik tubuhnya saat tengah dipeluk ranjang yang seharusnya menyenangkan dan menenangkan, sementara pikirannya berkelana ke mana-mana. Ia memikirkan nasib Alika yang tidak kunjung diketahuinya. Bahkan, Raka tidak berani menggunakan ponselnya untuk sekadar bertanya kabar. Ia takut akan mengganggu Alika atau membangunkan keinginan Septian untuk melakukan hal-hal di luar kendalinya.

Malam ini, entah sudah berapa buku yang dilahapnya. Tiba-tiba saja, matanya lelah. Raka terlelap dalam mimpi.

Mimpi yang sama.

Di hadapannya, terhampar pasir nan jauh dan semilir angin membelai tengkuknya. Siluet seseorang mulai mendekat.

Senyum Raka terkembang sempurna. Ia bisa menebak kedatangan Alika dalam mimpinya secara tepat.

Setelah mendekat, Alika membalas senyum Raka, meraih tangannya. Lalu, menggenggamnya erat sampai Raka salah tingkah dibuatnya. Apalagi, saat Alika berkata: I love you, Raka.

"I love you more, Al."

Beberapa menit menatap jauhnya lautan, Alika menuntun Raka untuk duduk di sebelahnya.

Mereka terdiam sebelum Alika menelengkan kepalanya. "Raka, seandainya aku mengingkari janjiku dan meninggalkanmu lagi, apa kamu akan memaafkanku?"

Raka menggeleng. Tidak menatap Alika, meski ia ingin menggenggam erat tangannya atau memeluknya, dan tidak melepasnya lagi. "Aku takut aku tidak akan sekuat dulu lagi Al, kalau sampai kamu meninggalkanku. Aku takut aku akan mati."

"Kamu pasti kuat, Ka."

"Apa kamu sudah nggak mencintaiku lagi?"

"Selamanya, aku akan mencintaimu Raka. Selamanya. Sulit buatku melupakanmu, meski ingin. Bagaimana mungkin aku tidak mencintaaimu, Raka. Seseorang yang tidak pernah marah tanpa alasan, selalu mencoba mengerti keberadaanku. Seseorang yang lembut hatinya."

"Kalau aku memang memiliki itu semua, kenapa kamu tetap mau meninggalkanku? Apa kamu merasa terjepit dengan semua kejadian ini? Apa kamu merasa dilema yang sama denganku? Apa kita harus lari ke ujung dunia untuk berbahagia, Al?"

Kali ini, Alika terdiam. Ia hanya memandang jauh ke depan kembali, mengindikasikan kepada Raka untuk mengikuti kegiatannya memandang laut mahaluas yang ada di depan mereka.

"Aku pamit dulu ya, Ka."

Raka terjaga dari mimpi seolah Alika benar-benar berkata di telinganya dan pamit.

Diliriknya, jam digital pada ponsel yang diletakannya di nakas. Pukul tiga pagi.

Keringat dingin Raka merembes. Ia melangkah sedikit gontai menuju ruang makan. Dibukanya kulkas. Tangannya meraih botol air minum, lalu menenggaknya sampai habis.

"Nggak mungkin Alika melepasku lagi. Nggak boleh. Aku nggak mungkin melepaskannya juga. Aku akan mempertahankannya. Aku sudah nggak peduli lagi sama omongan orang," gumam Raka setengah melamun saat meletakkan botol air minum di atas kulkas dan kembali ke kamar seolah-olah otaknya berbisik kepada hati, dan terus mencemooh.

Istana PasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang