"Raka di mana!" seru Septian. Dadanya terlihat naik-turun saat security mencegahnya masuk ke ruangan Intana, sementara Intana masih menerima tamu dan terlihat kebingungan dengan situasi yang ada di sekitarnya. Terjepit, Intana meminta maaf berkali-kali dan mencoba menenangkan tamunya yang terlihat sedikit terganggu dengan kelakuan Septian."Maaf, Bu. Saya sudah bilang ke Bapak ini, kalau Bu Intana masih ada tamu. Tapi orangnya ngotot minta masuk," kata security dengan wajah memelas dan mendapat anggukan kecil dari Intana sebelum ia melangkah menuju tempatnya kembali sembari menunduk.
"Pak Zainal, minta tolong di-handle sebentar, bisa?" tanya Intana kepada Zainal yang sedang mengamati suasana kantor yang mendadak mencekam.
Zainal menjawab dengan gelengan pelan dan mendapat pandangan menusuk dari Intana. Intana berjanji di dalam, kalau sampai Zainal berani melarikan diri, ia akan membuat perhitungan.
"Selamat siang, Pak Septian. Bapak bisa tunggu di meja saya sebentar. Mungkin ada yang bisa saya bantu?" tanya Zainal ramah, mencoba mengambil alih kendali walau ia malas melakukannya.
"Saya perlunya sama Raka, bukan sama kamu!" kata Septian, menengok dan tidak dapat menahan emosinya.
"Baik," balas Zainal sembari melemparkan pandangannya kepada Intana kembali yang setengah mati menggerutu.
"Itu dia!" Mata Septian menangkap Raka sedang berdiri di ruang kerjanya, melihat melalui kaca tembus pandang dari dalam ruangannya. Kemungkinan besar, ia menyadari keributan kecil yang terjadi di lingkungan kantornya.
"Mari saya antar ke ruangan Pak Raka." Beruntung, Intana berdiri lebih dulu dengan cekatan, meninggalkan tamu yang tanpa Intana mohon sekalipun, Zainal pasti lebih memilih untuk melayaninya dengan tangan terbuka. Menggantikan Intana saat berusaha menghalangi Septian yang sudah akan melangkah cepat menuju ruangan Raka. "Lewat sini, Pak."
Septian tidak bicara lagi saat melangkah. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu saat Intana mengetuk pintu ruangan Raka, sampai akhirnya mereka masuk, dan mempersilakan Septian duduk.
Intana melirik Septian yang masih berdiri dengan berkacak pinggang, dan mengulangi perkataan Raka dengan kekhawatiran bahwa Septian mungkin tidak mendengarnya. "Silakan duduk, Pak Septian. Saya ambilkan minum dulu, ya."
Di meja tamu, satu wadah berundak berisi botol air mineral teraih oleh Intana, dan cepat-cepat mengulurkannya kepada Septian yang tidak juga bergerak, bertanya, apalagi menanggapi perkataan mereka.
"Bisa tinggalkan kami sebentar?" pinta Raka kepada Intana yang langsung pasang badan dengan meletakkan kedua tangannya di dada.
"Kamu di sini saja." Septian akhirnya buka suara ketika Intana masih satu langkah meninggalkan ruangan.
"Tapi, Pak...."
"Oke, kamu boleh tetap di ruangan ini Intana, kalau itu buat Pak Septian nyaman buat bicara. Lagipula, kita sedang tidak membahas hal rahasia. Silakan duduk Pak Septian. Apa ada yang bisa kami bantu?"
"Kamu pasti sudah tahu kalau saya mau mundur dari sewa di mal ini karena sebelumnya sudah info ke anak buahmu. Pagi tadi." Septian akhirnya memilih duduk dan emosi jelas tercetak pada wajahnya yang tidak terlalu tepat jika harus melakukan hal-hal buruk. Terlalu tampan, kata Intana dulu, saat pertama kali bertemu dengannya.
"Betul, Pak. Tapi kami tidak menyarankan kepada Pak Septian untuk tidak meneruskan sewa karena selain kerugian material yang akan Bapak dapatkan, ada juga kerugian lain kalau sampai melakukannya. Kepercayaan kami kepada calon penyewa seperti Pak Septian bakalan menjadi ulasan di masa yang akan datang."
Tiba-tiba, Septian tertawa mendengar perkataan Raka. Intana yang duduk di sebelah Septian hanya bisa mengerutkan dahi, tidak tahu harus berlaku seperti apa, kecuali memasang telinganya taja.. Terlebih, ketika Raka hanya terdiam di tempat, menunggu kelanjutannya. Mereka sama-sama mengamati Septian yang tidak juga berhenti tertawa.
"Apa tadi katamu? Kepercayaan?"
"Iya, sesuatu yang dibangun atas dasar kepercayaan, pasti akan berlaku untuk jangka panjang. Kami selalu menjunjung itu di sini."
Kali ini, Septian tidak bisa menahan lagi tawanya yang semakin kencang. Bahkan, ia sendiri sempat mengusap air matanya dan memegangi perutnya yang kram. Dan setelah Septian berhenti tertawa, ia melanjutkan kalimat yang tersekat di tenggorokannya. "Baru kali ini saya dengar seseorang membahas soal kepercayaan di muka saya, sepercaya diri Anda, sementara saya sendiri tahu kebusukan macam apa yang disimpan selama ini dari orang-orang di luar sana."
"Sekali lagi saya minta maaf. Mohon untuk tidak mencampur-adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Mari kita bicara dengan kepala dingin. Kita selesaikan semuanya. Satu persatu. Dan untuk saat ini, saya rasa masalah pekerjaan yang seharusnya kita dahulukan. Jangan sampai gegabah bertindak, Pak Septian."
"Dasar bajingan!"
Intana terkesiap mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Septian, yang tidak juga tepat mengatakannya, karena sekali lagi, wajahnya tidak mendukung berbicara seperti itu.
"Mohon pelankan suara Anda. Kita lagi di kantor." Raka berusaha untuk tetap tenang, sementara Septian sudah berdiri dari tempat duduk dan menunjuk langsung muka Raka.
"Kalau kamu manusia beradab, seharusnya kamu tahu batasan untuk tidak mengganggu rumah tangga orang lain dan lebih tahu diri lagi menggunakan kata-kata kepercayaan di muka saya. Jangan kamu kira selama sebulan ini saya diam saja dan tidak tahu tingkah menjijikan kalian berdua. Bagaimana rasanya tidur dengan istri saya, huh?"
Kali ini, Intana yang menjadi saksi bisu, membelalak. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sampai-sampai Intana hanya mengerjap dan mempertajam pendengarannya, meski dadanya bergemuruh, menelaah segalanya sedari semula. Seperti sedang merangkai teka-teki.
Saat Raka akan membuka mulutnya kembali, Septian sudah lebih dulu menyusul kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya. "Saya hanya menahan diri untuk tidak membunuhmu, minimal melaporkanmu ke polisi, meski saya sudah punya semua buktinya!"
Tatapan Septian jelas mengisyaratkan kepadanya untuk tetap diam, tetapi lidah Raka tidak menurut. "Lalu, sebenarnya Anda mau apa dari kondisi seperti ini?"
"Banyak omong!"
Bug....
Krak....
Prang....
Arghhh....
Jerit Intana seolah mampu menjelaskan segalanya. Zainal dan tamu yang sedang ditanganinya bahkan sampai ikut berdiri ketika mendengar jerit Intana yang tidak bisa dianggap pelan.
Mereka mencoba mengamati sesuatu yang sedang terjadi di ruangan Raka lamat-lamat, yang seolah tembus pandang seperti sedang memutar film bioskop dan seketika menjadi konsumsi publik. Septian tengah mengepalkan tangannya. Intana yang berdiri kaku, menutup mulutnya, sementara Raka yang entah tergeletak di mana setelah terdengar bunyi berisik beberapa kali.
"Jangan harap saya akan menceraikan istri saya semudah itu. Sampai kapan pun, hal itu tidak akan terjadi!" ujar Septian saat membuka pintu ruangan dan beringsut keluar, sementara security tergopoh-gopoh menuju ruangan Raka yang sudah lengang.
Raka hanya bisa pasrah saat berdiri dan mengelap rembesan darah di ujung bibirnya, sembari menjadi tontonan mirip komedi putar.
![](https://img.wattpad.com/cover/219185716-288-k778713.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana Pasir
Romansa[Daftar Pendek The Wattys 2021] Janur kuning atau jalarane nur adalah perlambang memasuki bahtera rumah tangga. Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, janur kuning bisa disebut sebagai mantra untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam suat...